Oleh: Zen Wisa Sartre dan Fandhi Gautama
KOMPAS.com - Generasi Z, generasi yang lahir dari tahun 1997 sampai 2012, memiliki perbedaan karakteristik dengan generasi sebelumnya. Terutama dalam hal teknologi dan media sosial.
Selain penggunaan teknologi, Generasi Z juga menyukai sesuatu yang serba instan atau bisa dibilang cepat jadi. Media sosial mengambil andil besar dalam perilaku Generasi Z yang demikian.
Contohlah YouTuber Gaming, PewDiePie, yang membuat banyak remaja dan anak-anak ingin menjadi seperti dirinya. Belum lagi Windah Basudara yang tak kalah inspiratif.
Terkait hal ini, Devin Yulio, Stand Up Comedian dan Konten Kreator di Instagram @semakindidevan, mengutarakan pendapatnya tentang Generasi Z, quarter life crisis, dan kesehatan mental dalam siniar BEGINU episode “Bertanya Kepada Si Paling Generasi Z”.
Menurut Devin Yulio, media sosial menjadi elemen fundamental dalam kehidupan Generasi Z. “Kita (Generasi Z) melihat medsos banget,” ungkap Devin.
Dengan memanfaatkan media sosial sebagai pintu yang membuka kesempatan, Generasi Z memiliki banyak opsi dalam kehidupannya. Opsi tersebut merupakan dampak dari keterbukaan informasi.
Sebagai contoh, dalam dunia pekerjaan, Generasi Z tidak akan segan untuk berpindah dari satu perusahaan ke perusahaan yang lebih menguntungkan. Dolot (2018) juga memaparkan bahwa jarak dan perbedaan negara asal perusahaan tidak menjadi batasan bagi Generasi Z.
Generasi Z juga tidak terlalu mengkhawatirkan stabilitas pekerjaan dan cenderung tidak menyukai rutinitas. “Mereka (Generasi Z) tuh cenderung tidak loyal,” ungkap Devin.
Baca juga: Pentingnya Rekor MURI bagi Masyarakat Indonesia
Bisa dikatakan, karakteristik “ketidakloyalan” Generasi Z ini merujuk pada mudahnya kebosanan yang menimpa mereka. Hal ini juga menyebabkan Generasi Z, sebagai konsumen hiburan, memantik para pekerja kreatif agar lebih produktif dan inovatif.
Selain itu, Generasi Z menganggap self-employed sebagai pekerjaan profesional layaknya karyawan perusahaan. Terlebih, dengan self-employed mereka dapat mengekspresikan kebebasan tanpa terkekang, seperti jam kerja atau aturan berpenampilan.
Dengan bertambahnya usia, Generasi Z mulai menghadapi quarter life crisis. Quarter life crisis adalah periode pencarian jati diri dari umur 20-an hingga awal 30-an.
Pencarian jati diri ini menyebabkan Generasi Z mengkhawatirkan identitas, pendidikan, penampilan, dan karier. Tak jarang, dari kekhawatiran ini, muncul masalah kesehatan mental.
Meskipun begitu, Generasi Z memiliki kesadaran bahwa kesehatan mental sangat penting. Bagi Generasi Z, melakukan terapi atau bercerita kepada profesional terkait kesehatan mental tidak lagi menjadi sesuatu yang tabu.
Kesadaran Generasi Z atas kesehatan mental juga memantik industri seni musik, misalnya, untuk mengangkat isu tersebut. Pasalnya, lagu-lagu yang mengekspresikan kesedihan dan penderitaan memengaruhi pendengar untuk merefleksikan kehidupannya.