Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Muhamad Rosyid Jazuli
Peneliti

Peneliti di Paramadina Public Policy Institute, mahasiswa doktoral University College London, dan Pengurus PCI Nahdlatul Ulama UK.

Bagaimana Menyikapi "Multidimensionalitas" Krisis

Kompas.com - 11/08/2022, 11:50 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PERANG Ukraina-Rusia tak hanya menjadi krisis keamanan global. Krisis itu menjalar dan memicu krisi pada dimensi-dimensi lain, di antaranya krisis energi dan pangan yang secara signifikan mendisrupsi ekonomi berbagai negara.

Harga minyak di pasar dunia mendadak mendidih. Berbagai negara menderita, pemerintah maupun warganya.

Untuk menyikapinya, Indonesia contohnya, berupaya menstabilkan harga energi, merogoh kocek APBN-nya hingga sekitar Rp 500 triliun. Sementara di negara lain, Britania Raya (UK) misalnya, harga BBM-nya naik kira-kira dua kali lipat daripada di masa sebelum krisis.

Dari sisi pangan, malangnya, dua negara yang berperang ini adalah penyuplai berbagai bahan baku pangan dunia, keduanya termasuk penyuplai pangan terbesar. Gara-gara perang ini, tiba-tiba sekitar 1 dari 8 orang di dunia ini kehilangan sumber pangannya akibat berhentinya pasokan dari dua negara tersebut.

Baca juga: Jokowi Sebut Kemungkinan 800 Juta Orang Akan Kelaparan karena Krisis Pangan

Disrupsi ini lalu berdampak pada naiknya harga-harga atau inflasi. Di UK dan Amerika Serikat (AS) misalnya, inflasinya baru-baru ini mencapai sekitar 10 persen.

Indonesia bagaimana? Nusantara ‘agak’ beruntung. Dominasi ekonomi informalnya memang menjadi pekerjaan rumah serius yang membuatnya sulit tumbuh. Namun, ketika terjadi krisis pasokan pangan, dampaknya secara umum tak signifikan bagi masyarakat Indonesia.

Harga-harga relatif stabil di dalam negeri. Kalau pun ada yang naik harganya, kemungkinan besar bukan disrupsi global penyebabnya. Masyarakat umumnya masih bersandar pada sumber-sumber ekonomi dan pangan lokal. Sebagian besar masyarakat makan dari hasil panen petani lokal. Sebagian lain bahkan menumbuhkan atau memproduksi makanannya sendiri.

Berbagai pangan nabati dan hewani dihasilkan sendiri, khususnya mereka yang tinggal di daerah rural atau pedesaan. Perputaran ekonomi juga masih didominasi oleh ekonomi lokal lewat giatnya gerak usaha mikro, kecil, dan menengah atau UMKM.

Kelompok usaha ini, secara angka, tentu kalah kontribusinya ke pertumbuhan ekonomi ketimbang industri-industri besar. Namun, UMKM sarat daya tahan ekonomi yang bersifat lokal yang tahan goncangan disrupsi global.

Sebagian besar masyarakat Indonesia masih gemar berbelanja di pasar tradisional, salah satu tempat berbagai UMKM bernaung. Para pedagangnya secara umum mendapat pasokan dari sumber-sumber lokal, seperti petani sayuran dan peternak unggas lokal.

Dalam konteks tersebut, disrupsi dan krisis global tentu punya dampak terhadap ekonomi lokal, tetapi tak sesignifikan yang terjadi di negara-negara dengan ekonomi modern.

Foto pada 14 Juni 2022 memperlihatkan gandum Ukraina disimpan di gudang pertanian di Izmail, dekat Odessa. Kesepakatan ekspor gandum Ukraina ditandatangani Rusia dan Ukraina pada 22 Juli 2022 dengan ditengahi Turkiye dan PBB untuk meredakan krisis pangan global.AFP/OLEKSANDR GIMANOV Foto pada 14 Juni 2022 memperlihatkan gandum Ukraina disimpan di gudang pertanian di Izmail, dekat Odessa. Kesepakatan ekspor gandum Ukraina ditandatangani Rusia dan Ukraina pada 22 Juli 2022 dengan ditengahi Turkiye dan PBB untuk meredakan krisis pangan global.
Kerja sama multi aktor

Secara global, saat ini sisa-sisa dampak pandemi Covid-19 masih terasa. Masyarakat dunia masih terus waspada akan munculnya kembali virus tersebut atau penyakit-penyakit lain.

Tak kalah krusial, perubahan iklim yang mengancam keberlanjutan kehidupan. Semua ini pada akhirnya memunculkan ‘multidimensionalitas’ krisis yang pada batas tertentu memperburuk ketimpangan antara dunia utara (global north) dengan selatan (global south).

Baca juga: Jokowi: Perubahan Iklim Tantangan Nyata bagi Kita

Sebagai negara besar, Indonesia punya peran penting untuk ikut membantu menyelesaikan, paling tidak, meredakan luka-luka ekonomi dan lingkungan akibat krisis di atas.

Di dalam situasi genting seperti ini, tak bijak berdebat dan menunggu yang dianggap bertanggung jawab untuk bertindak. Kurang tepat, misalnya, kita menunggu institusi seperti Kementerian Pertanian atau Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk bertindak, hanya karena secara nomenklatur, merekalah yang bertanggung jawab isu-isu pangan dan lingkungan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com