Jenis kasus rasialisme kebahasaan yang paling banyak dijumpai dalam masyarakat Indonesia adalah kasus rasialisme individu. Kasus ini biasanya mencuat kepermukaan jika dilakukan atau menimpa seorang tokoh masyarakat seperti Natalius Pigai seperti dalam contok di atas.
Kasus rasialissme kebahasaan individu lainnya dapat dilihat dari beragam konten rasial berbungkus humor yang sering dibawakan para komika di acara pencarian bakat standing up commedy Indonesia.
Kasus rasialisme kebahasaan yang laten adalah istilah-istilah rasialisme yang dimunculkan para buzzer politik sebagai akibat dari polarisasi politik pasca Pilpress 2018. Para buzzer ini turut menyumbang jumlah kasus rasialisme kebahasaan dengan menciptakan istilah-istilah baru yang bernada rasial seperti ‘kadrun’ (kadal gurun) yang merujuk pada orang-orang Arab (Heriyanto, 2019), ‘aseng’ yang merujuk pada orang-orang Tiongkok, dan ‘antek barat’ yang merujuk pada orang-orang yang pro liberalisme.
Rasisme institusional atau rasisme sistemik terkadang muncul tanpa disadari masyarakat. Rasialisme jenis ini berskala lebih besar karena melibatkan negara seperti contoh adalah kekurangseriusan pemerintah Indonesia dalam merawat bahasa daerah yang jumlahnya ratusan di Indonesia.
Ketidakseriusan ini terlihat ketika pemerintah tidak memasukkan kegiatan konservasi bahasa lokal secara serius ke dalam bagian kurikulum pendidikan nasional. Wahyudin (2013) bahkan menyatakan di media massa keprihatinannya terkait kebijakan kurikulum pendidikan nasional tahun 2013 yang dianggapnya telah melakukan tindakan kejahatan genosida kebahasaan karena pemerintah tidak secara eksplisit mencantumkan bahasa daerah sebagai bahasa yang harus dikuasai setara dengan bahasa Indonesia atau bahasa Inggris.
Tanpa pencantuman kesetaraan ini, bahasa daerah seringkali dianggap sebagai simbol ketidakmajuan dan keterbelakangan. Urutan pertama dari bahasa yang wajib dikuasai masyarakat Indonesia adalah bahasa Indonesia. Sebagai bahasa nasional, sudah sepantasnya bahasa Indonesia diperhatikan oleh pemerintah.
Ketika bahasa Inggris telah bergeser menjadi kebutuhan dan makin banyak sekolah menerapkan kebijakan bilingual (Indonesia-Inggris) sebagai bahasa percakapan di lingkungan sekolah, maka situasi pemarjinalan penggunaan bahasa ibu di sekolah-sekolah seringkali terjadi (lihat Piliang 2021).
Padahal, pemerintah seharusnya dapat membuat kebijakan yang dapat mengurangi ketimpangan itu. Kasus yang jelas bagaimana pemerintah serta masyarakat kurang berpihak pada bahasa daerah adalah hingga saat ini tidak banyak perguruan tinggi Indonesia memiliki sebuah program studi yang khusus menaungi bahasa-bahasa lokal di Indonesia. Padahal Indonesia memilik lebih dari 500 bahasa lokal.
Rasialisme kebahasaan epistemologis di Indonesia kebanyakan muncul dalam bentuk sudut pandang yang bersifat inferior. Salah satunya adalah berkaitan dengan cara pandang bangsa terhadap ras dan bahasa lain. Misalnya, orang kulit putih dan bahasa Inggris yang dianggap lebih baik dari orang kulit sawo matang dan bahasa Indonesia. Pandangan semacam ini oleh Motha (2020) disebut sebagai kolonialisasi kontemporer.
Secara lebih detail, pemerintah dan masyarakat Indonesia masih menempatkan bahasa Inggris sebagai bahasa favorit yang urgen untuk dikuasai. Hal ini ditandai dengan masuknya penguasaan bahasa Inggris (dan bukan bahasa daerah) sebagai komponen yang menentukan kualitas serta kelulusan siswa secara nasional.
Banyaknya perhatian pemerintah pada bahasa Inggris (daripada bahasa daerah) yang ditandai dengan sering diadakannya lelang proyek pengadaan lab listening dan buku-buku berbahasa Inggris untuk sekolah sebagai sarana pendukung pembelajaran bahasa Inggris (lihat Hamzah, 2012) menunjukkan bukti-bukti konkret adanya ketidakadilan kebijakan.
Dari sini pula kita dapat melihat ada sudut pandang inferioritas bangsa Indonesia yang lalu memaksa masyarakat Indonesia untuk belajar bahasa Inggris dan menganggap warga negara Indonesia yang menguasai bahasa Inggris sebagai warga negara yang unggul dan terdidik.
Pandangan inferioritas rasial ini pada akhirnya memakan korban. Salah satunya yang kemudian menjadi sorotan media massa adalah munculnya kritik terhadap kemampuan bahasa Inggris Presiden Jokowi, yang dianggap minim jika dibanding dengan kemampuan bahasa Inggris para pemimpin dunia lainnya. Salah satu berita yang saya saya jumpai terkait masalah ini adalah hoaks melalui Twitter yang dilakukan seorang netizen terkait Presiden Jokowi (lihat Kominfo.go.id (2020), yang dianggap dapat mempermalukan dan merendahkan bangsa Indonesia hanya karena persoalan kemampuan berbahasa Inggris.
Dari sini kita bisa melihat bagaimana orang Indonesia menempatkan bahasa Inggris sebagai bahasa yang tinggi dan menghubungkannya dengan kemampuan seorang pemimpin Indonesia melalui kopetensi ini. Padahal, kemampuan bahasa asing seseorang bukanlah alat ukur yang tepat untuk mengetahui kemampuan leadership seseorang.
Rasialisme kebahasaan epistemologis ini juga ada dalam pengajaran bahasa Inggris khususnya di perguruan tinggi. Dalam domain ini, isu-isu rasialisme juga dapat terlihat.
Fakta pertama adalah berkaitan dengan referensi kegiatan belajar mengajar. Sebagai lembaga yang berfokus pada penguasaan keilmuan bahasa Inggris, prodi/departemen yang ada di universitas-universitas Indonesia sangat berorientasi pada referensi-referensi yang ditulis oleh orang kulit putih.
Croom (2020) menyebutnya sebagai white orientation khususnya yang berasal dari AS atau Inggris. Padahal, buku-buku karangan dari orang Asia bahkan orang Indonesia sendiri juga banyak tersedia.
Kedua berkaitan dengan kompetensi pengajar. Fakta kedua terletak pada persepsi academia terkait latar belakang pendidikan seseorang. Seorang dosen yang memiliki ijazah luar negeri seperti AS, Inggris, dan Australia, dianggap lebih baik kualitasnya dari dosen yang memiliki ijazah dari kampus lokal.
Padahal, tempat seseorang kuliah tidak menentukan kemampuan seseorang dalam mengajar. Banyak dosen yang merupakan alumni kampus lokal lebih sukses mengajar dari mereka yang merupakan alumni kampus luar.
Melihat fenomena-fenomena rasialisme kebahasaan di Indonesia yang makin lama makin menggunung, tidaklah mengherankan jika Indonesia dimasukkan ke dalam lima negara paling rasialis sedunia. Sebuah survei Washington Post menyebutkan, sebanyak 30-39,9 persen penduduk Indonesia termasuk kategori masyarakat rasialis (Wijaya, 2013).
Hasil survei ini sangat mengejutkan mengingat Indonesia memiliki undang-undang yang mengatur rasialisme, yaitu UU Nomor 40 Tahun 2018 tentang Penghapusan Diskriminasi Berdasarkan Ras dan Etnis untuk mencegah dan menindak isu rasial, serta pasal 28 ayat 2 UUD 1945 soal HAM yang menyatakan bahwa setiap orang berhak terbebas dari tindakan diskriminatif.
Dengan adanya dua landasan yuridis itu, seharusnya rasiolinguistik telah tumbuh menjadi sebuah keprihatinan bersama mengingat Indonesia merupakan negara yang memiliki penutur bahasa lokal yang sangat besar di dunia yang rentan bersinggungan karena masalah perbedaan persepsi dalam berkomunikasi.
Mengapa isu-isu rasialisme kebahasaan seringkali luput dari perhatian publik dan menguap begitu saja? Mengapa pula isu rasialisme kebahasaan dianggap sebagai isu yang tidak lebih penting dari gosip yang biasa terdengar dalam obrolan santai ketika makan siang bersama teman sekantor?