Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ronny P Sasmita
Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution

Penikmat kopi yang nyambi jadi Pengamat Ekonomi

Kebijakan Publik dan Ilmu Pengetahuan

Kompas.com - 13/07/2022, 15:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PADA hari tentara Jerman menyerbu dan menduduki Paris, sekelompok ilmuwan Amerika Serikat (AS) melakukan longmarch ke Gedung Putih. Mereka membawa berita duka untuk Presiden Franklin D Roosevelt ((FDR). Teknologi militer kita, kata mereka, sama sekali tidak siap untuk menghadapi kekuatan Axis (poros Jerman, Italia, dan Jepang). Karena itu, mereka mendesak FDR membentuk badan baru untuk membantu memenangkan Perang Dunia Kedua.

Roosevelt lalu membentuk sebuah lembaga yang kemudian dikenal dengan OSRD atau Office of Scientific Research and Development. Roosevelt menunjuk Vannevar Bush, mantan dekan Sekolah Teknik MIT, sebagai kepalanya. OSRD mempekerjakan lebih dari 1.500 orang dan mengarahkan ribuan proyek di seluruh AS untuk disebar ke universitas-universitas di negara itu yang mampu melakukannya.

Baca juga: Riset dan Inovasi sebagai Sebuah Perjalanan, Bukan Suatu Tujuan

Tercatat setelah Perang Dunia Kedua, badan tersebut melahirkan banyak penemuan militer seperti sonar, radar, dan salah satu programnya berubah menjadi Proyek Manhattan -yang melahirkan bom atom.

Terobosan OSRD jauh melampaui misil dan bom. OSRD mendukung produksi massal penisilin untuk pertama kalinya bersama produsen kimia Pfizer yang memproduksi bahan antibiotik, berinvestasi dalam proyek penanganan dan perawatan malaria, serta mengembangkan vaksin influenza generasi awal. OSRD juga berinvestasi dalam proyek komunikasi gelombang mikro.

Saat ini, bahkan di AS sendiri, tidak banyak orang yang pernah mendengar tentang OSRD karena lembaga tersebut telah dibubarkan tahun 1947, dua tahun setelah perang usai. Tanggung jawab OSRD di masa damai disebar ke berbagai lembaga pemerintah.

Ketika pandemi Covid-19 datang 80 tahun kemudian, cilakanya Donald Trump sedang berkuasa. AS terbilang telat bereaksi. Bukan karena kelembagaan ilmiahnnya yang bermasalah, tetapi justru kepemimpinan nasionalnya yang "rada-rada." Donald Trump bahkan pada awalnya menganggap enteng Covid 19, menjadikannya sebagai terminologi yang terkait langsung dengan misi perang dagangnya dengan China dan mengolok-oloknya, mangamplifikasi istilah dari seorang senator AS, yang menyebut Covid-19 dengan kung-flu.

Namun akhirnya, National Institute of Health dan National Institute of Allergy and Infectious Dessease, bergerak cepat. Kontrak dengan Pfizer kembali terjadi, seperti saat perang dunia kedua. Dejavu, lahirlah vaksin pfizer yang akhirnya dipakai di seluruh dunia.

Di China pun sama, reaksi cepat pemerintah China tak lepas dari keberadaan China Academy of Science, yang secara struktural membawahi Wuhan Institute of Virology dan Chengdu Institute of Biology. Lembaga-lebaga ini sangat berperan besar dalam melahirkan keputusan lockdown dan inisiasi vaksin sinovaks dan sinofarm.

Karakter non-demokratik China membuat pergerakannya sangat cepat. Ketika Presiden Xi Jinping bilang eksekusi, anak buahnya harus bilang siap, lalu eksekusi. Beda-beda tipislah dengan Rusia. Vaksin sputnik bahkan lebih dulu diumumkan oleh Putin ketimbang vaksin manapun.

Kondisi Indonesia

Sedikit berbeda dengan Indonesia. Setelah pengakuan terhadap Covid 19 muncul dari pihak pemerintah (awalnya sempat diledek oleh beberapa kementerian), inisiasi vaksin merah putih pun lahir, langsung ke salah satu universitas di Surabaya. Lalu ada pula inisiasi riset di salah satu lembaga di Bandung, yang didukung oleh perusahaan farmasi.

Yang agak sedikit mengherankan, ketika pandemi bermula, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (sekarang BRIN) atau BPPT posisinya entah di mana dan nyaris tidak terdengar suaranya, terutama dalam meyakinkan publik bahwa penyikapan keilmuan harus didukung penuh oleh publik? Tapi syukurlah akhirnya orang Indonesia tetap bisa divaksin, walaupun dengan vaksin impor seperti sinovaks, astra zeneca, pfizer, dan sinofarm.

Gaya penyikapan Indonesia yang cenderung mengutamakan hasil dari negara lain itu menjadi cerminan sistemik negeri ini atas inovasi dan ilmu pengetahuan.

Jadi sangat wajar jika Jokowi sering berteriak soal pengadaan barang impor. Sistem ekonomi dan politik kita masih belum ramah terhadap inovasi dan ilmu pengetahuan.

Padahal Indonesia tidak kekurangan orang cerdas, tidak kekurangan generasi muda kreatif, dan tidak kekurangan orang-orang yang secara personal punya ketertarikan pada inovasi dan ilmu pengetahuan. Indonesia hanya kekurangan "keberpihakan" pada inovasi, ilmu pengetahuan, riset, dan sejenisnya, yang ternyata membuat negeri ini cukup rapuh dalam berbagai bidang.

Baca juga: 13 Litbang dan Universitas Disemenasi Hasil Riset Teknologi Penguatan Industri Sawit

Saya jadi ingat tulisan David Shambaugh dalam salah satu bukunya, Where Great Power Meet. America and China in Shouth East Asia (2021 ). Dia menuliskan kebingungannya soal susahnya mencari "pakar China" di Indonesia. Padahal volume perdagangan Indonesia dan China sangat besar, interaksi kedua negara juga sangat berarti dalam tata geopolitik kawasan.

Jadi tak heran, kata David, jika Syofyan Wanandi pada acara Shangrila Dialogue di Singapura, beberapa waktu lalu mengatakan, Indonesia dan China bahkan "tidak saling kenal".

Tentu yang dimaksud David adalah sinologist, bukan sekedar pakar masalah internasional, tapi benar-benar pakar masalah China yang memahami China dari dalam, layaknya pakar China yang bejibun jumlahnya di AS.

Saya secara pribadi sempat terbawa heran setelah membaca buku itu. Apa yang ditulis David adalah gambaran bahwa kebijakan-kebijakan yang diambil di Indonesia, (dalam konteks David Shambaugh adalah kebijakan yang berkaitan dengan relasi Indonesia-China) masih belum ditopang oleh kinerja scientific community, tapi lebih berorientasi pada kepentingan, baik ekonomi maupun politik di satu sisi dan boleh jadi "suara netizen" di sisi lain.

Dengan kata lain, isi kepala para intelektual di kampus-kampus, institusi dan asosiasi ilmiah, atau lembaga-lembaga think thank tampaknya masih belum terlalu mendapat tempat dalam kebijakan-kebijakan pemerintah, baik pusat maupun daerah.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com