Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengapa Konflik Antar-etnis Kerap Terjadi di Babarsari Yogyakarta?

Kompas.com - 07/07/2022, 08:32 WIB
Ahmad Naufal Dzulfaroh,
Sari Hardiyanto

Tim Redaksi

KOMPAS.com - "Babarsari Gotham City", begitulah warganet menjuluki Jalan Babarsari, Kelurahan Caturtunggal, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Gotham City sendiri diilhami dari nama daerah di serial komik Batman yang memiliki tingkat kejahatan tinggi dan sarang para mafia.

Julukan ini diberikan karena pertikaian antar-etnis yang kerap terjadi di wilayah Babarsari.

Terbaru, kerusuhan terjadi pada Senin (4/7/2022) yang mengakibatkan sejumlah bangunan dan sepeda motor hangus dibakar massa.

Kerusuhan tersebut bermula dari keributan di salah satu tempat karaoke di Babarsari.

Baca juga: Pemicu dan Kronologi Kerusuhan di Babarsari Yogyakarta

Lantas, mengapa kawasan Babarsari kerap menjadi arena konflik antar-etnis?

Konflik antar-etnis di kawasan Babarsari Yogyakarta

Dosen sosiologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Muhammad Najib Azca mengatakan, kehadiran komunitas-komunitas pendatang di kawasan Babarsari sudah ada sekitar 30 tahunan.

Saat itu, kawasan tersebut mulai berkembang pesat dan menjadi titik keramaian lain di Yogyakarta.

"Babarsari itu kawasan yang berkembang belakangan, sekitar 30 tahunan. Setelah berkembang pesat kemudian banyak komunitas-komunitas pendatang hadir di sana, yang cukup menonjol adalah kawan-kawan dari timur," kata Najib kepada Kompas.com, Rabu (6/7/2022).

Baca juga: Ramai soal Bentrok di Babarsari, Ini Penjelasan Polisi

Kondisi kantor Firma DHEN & Partners di Pertokoan Kledokan Raya nomor 68, Babarsari, Caturtunggal, Depok, Kabupaten Sleman pasca peristiwa pengrusakan pada Senin 4 Juli 2022 (Foto dokumentasi Heru Nugroho).KOMPAS.COM/YUSTINUS WIJAYA KUSUMA Kondisi kantor Firma DHEN & Partners di Pertokoan Kledokan Raya nomor 68, Babarsari, Caturtunggal, Depok, Kabupaten Sleman pasca peristiwa pengrusakan pada Senin 4 Juli 2022 (Foto dokumentasi Heru Nugroho).

Sayangnya, hal itu tidak diiringi dengan adanya ruang-ruang perjumpaan antar-etnis atau komunitas yang memadai.

Untuk itu, ia berharap agar pemerintah membuat ruang-ruang sosial perjumpaan antar-etnis tersebut atau warga sekitar dan memberi rasa nyaman bagi siapa pun.

"Problem-nya adalah pada kantong-kantong komunitas yang berkembang pesat, ruang-ruang perjumpaan antar-komunitas itu belum terbangun dengan baik," jelas dia.

Baca juga: Menyelisik Awal Mula Munculnya Klitih di Yogyakarta...

Di Babarsari, ruang perjumpaan yang tersedia adalah ruang ekonomi dan kapitalis, seperti kafe, mal, apartemen, dan tempat karaoke.

Menurutnya, public space atau ruang perjumpaan yang ada idealnya berupa alun-alun atau gelanggang remaja dan dapat diakses oleh siapa pun tanpa harus membayar.

"Jangan sampai orang kalau ke situ harus bayar, kalau seperti itu kan berarti mereduksi kelas," ujarnya.

"Di sana, orang-orang bisa berkumpul dan melebur dalam aktivitas kolektif, ekspresi seni bareng antar-suku, lintas agama, bahkan lintas kelas," lanjutnya.

Baca juga: Ramai soal Video Klitih di Semarang, Ini Penjelasan Polisi

Identitas etnisitas yang kental

Garis Polisi terpasang di depan ruang pertemuan yang rusak di daerah Babarsar, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman.KOMPAS.COM/YUSTINUS WIJAYA KUSUMA Garis Polisi terpasang di depan ruang pertemuan yang rusak di daerah Babarsar, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman.

Tidak adanya ruang perjumpaan yang ideal itu membuat para pemuda merasa nyaman hidup dalam komunitasnya masing-masing.

Dampaknya, identitas etnisitas pun semakin kental. Pada titik tertentu, hal tersebut sangat rawan terjadi pergesekan.

"Kadang-kadang masalahnya tidak hubungannya langsung dengan mereka, misal gesekan kecil pas lagi karaoke, billiard, lalu kemudian identitas-identitas komunal itu tumbuh," kata dia.

"Yang sudah tumbuh semakin mengeras ketika terjadi konflik, lalu jadinya mobilisasi masa etnisnya, akhirnya terjadi pergolakan sosial," tambahnya.

Oleh karena itu, pemerintah perlu melakukan pendekatan secara sosiologis, kultural, dan politik.

Menurutnya, struktur dan kultur sosial yang ada di kawasan tersebut perlu ditransformasikan sehingga berubah menjadi lebih ramah terhadap perdamaian.

Baca juga: Deretan Tempat Wisata Yogyakarta Nol Biaya, Mana Saja?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com