Kita bahkan memiliki sosok ikonik Suzanna Martha Frederika van Osch yang hingga saat ini kita kenal sebagai ‘Ratu Horor Indonesia’.
Katinka van Hereen (2007) mengatakan bahwa film horor pertama kali diproduksi di Indonesia tahun 1934 dengan judul Doea Siloeman Oeler Poeti en Item yang dibuat oleh The Teng Cun.
Film tersebut didominasi oleh karakter perempuan dan banyak membahas tentang isu-isu perempuan pada masa itu.
Di samping itu, representasi perempuan di dalam film horor juga kerap dihadirkan sebagai subjek yang stereotipikal.
Mereka kerap digambarkan sebagai sosok hantu yang mengerikan, gentayangan, tersiksa, pendendam, kejam, hingga pembunuh.
Putra (2012) dalam penelitiannya berjudul Representasi Perempuan Dalam Film Horor, sosok hantu perempuan juga sering direpresentasikan sebagai objek seksual yang kerap berpakaian seronok dan penggoda.
Sementara Permatasari (2019) dalam analisisnya di dua film horor Pengabdi Setan (2017) dan Asih (2018) mengatakan bahwa hantu perempuan merupakan representasi dari produk ‘gagal’ yang tidak sesuai dengan harapan masyarakat.
Tidak hanya itu, dalam taksonomi hantu lokal dan sosok mistis yang berkembang di masyarakat, banyak nama yang diasosiasikan dengan subjek perempuan seperti kuntilanak, sundel bolong, suster ngesot, Si Manis Jembatan Ancol, wewe gombel, Nyai Roro Kidul, Nyai Blorong, Nini Popo dan masih banyak lagi.
Film sebagai wahana penyebaran ideologi dominan
Sebagai produk dari budaya populer yang diperuntukkan dan disukai oleh masyarakat luas, film merupakan bentuk rekonstruksi sosial yang diambil dari realita kehidupan kita sehari-hari.
Apa yang disajikan ulang di dalam film memiliki kedekatan dengan masyarakat dari segi konteks.
Di sisi lain, film ternyata tidak hanya berfungsi sebagai hiburan saja karena dalam pembacaan kritis film juga sarat dengan nilai-nilai dari konsepsi ideologi dominan yang dihidupi oleh masyarakat (Gramsci, dalam Srinati, 1995).
Bahkan sejumlah varian teori feminis melihat bahwa produk-produk budaya populer mencerminkan beroperasinya ideologi patriarkal yang bekerja demi kepentingan kaum laki-laki dan menentang kepentingan perempuan.
Hukuman bagi perempuan yang tidak bisa menjaga “sikap”
Dalam kaitannya dengan perempuan, film KKN di Desa Penari tidak dapat dilepaskan dari representasi subjek perempuan yang stereotipikal karena lagi-lagi hantu utama dalam perempuan di film ini adalah sosok perempuan bernama Badarawuhi.