KEKERASAN ragawi yang dilakukan para oknum terhadap Ade Armando yang menenggelamkan berita polemik Dokter Terawan, kenaikan harga minyak goreng dan minyak bumi mau pun isu presiden tiga periode jelas tidak bisa dibenarkan dengan alasan apa pun juga.
Namun fakta bahwa di antara ribuan warga yang hadir pada unjuk rasa massal di depan selasar gedung DPR/MPR/DPD hanya Ade Armando yang menjadi korban penganiayaan pada hakikatnya menarik untuk disimak secara lebih cermat dan seksama.
Beberapa kesimpulan bisa ditarik dari peristiwa tragis tersebut antara lain bahwa para penganiaya yang menganiaya Ade Armando pasti memiliki alasan tersendiri.
Kecuali para penganiaya kebetulan menyandang gangguan kesehatan jiwa sehingga melakukan penganiayaan tanpa alasan.
Satu di antara sekian banyak alasan adalah perasaan dendam terhadap Ade Armando yang kerap melontarkan ucapan keras terhadap pihak tertentu.
Tampaknya kesempatan jumpa dengan Ade Armando di tengah hiruk-pikuk demo 114 didayagunakan oleh pihak pendendam untuk melampiaskan dendam kesumat dengan melakukan kekerasan ragawi terhadap Ade Armando.
Jelas perlakuan kekerasan ragawi sebagai pelampiasan dendam terhadap Ade Armando tidak dapat dibenarkan sebab tidak adil melampiaskan dendam terhadap pelaku kekerasan verbal dengan kekerasan ragawi.
Di sisi lain peristiwa buruk tersebut dimanfaatkan oleh para simpatisan Ade Armando untuk mencurigai pihak lawan politik sebagai pelaku atau penanggung jawab sehingga para relawan pejabat tinggi tertentu dicurigai sebagai dalang penganiayaan 114.
Tampaknya dendam kesumat akibat kalah dalam pemilu masih meradang meski badai pemilu sudah lama berlalu sehingga skandal penganiayaan 114 dimanfaatkan sebagai kesempatan melampiaskan dendam yang sebenarnya sudah kedaluwarsa.
Ada pula yang memanfaatkan kebebasan mengungkap pendapat di alam demokrasi melalui medsos untuk kreatif bikin berita sendiri berdasar kehendak dan selera masing-masing.
Terbukti ada yang kreatif bikin meme analisa penganiayaan 114 dengan menggunakan logo sebuah kantor berita yang bonafid, maka bisa dipercaya demi mendiskreditkan pihak tertentu yang tidak disukai oleh sang pembuat meme atau yang membayar honor sang pembuat meme.
Dari peristiwa tragedi penganiayaan 114 dapat disimpulkan bahwa (sebagian) warga Indonesia sedang positif terpapar virus kebencian sehingga menjadi bukan bucin tetapi budam alias
budak dendam.
Akibat polarisasi masyarakat pada masa pemilu, maka masyarakat Indonesia terpecah-belah yang pada hakikatnya jelas tidak selaras dengan makna adiluhur yang terkandung di dalam sila poros Pancasila, yaitu Persatuan Indonesia.
Sungguh sangat disayangkan bahwa gejala polarisasi yang membuat (sebagian) masyarakat menjadi bipolar, bahkan multipolar ternyata masih berkelanjutan meski pemilu sudah lama usai.
Lazimnya pihak yang kalah menjadi budam akibat terlalu lama mengidap dendam kesumat tak terlampiaskan terhadap yang menang sehingga dendam kesumat berkelanjutan membara meski atau justru akibat pemilu sudah berakhir.