SEJAK disahkannya UU No. 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal terjadi perubahan besar dalam pengelolaan produk halal di Indonesia.
Pengelolaan sertifikasi halal yang dulunya menjadi kewenangan MUI beralih menjadi kewenangan satu badan di bawah Kementerian Agama, yaitu Badan Pengelola Jaminan Produk Halal (BPJPH).
Peralihan kewenangan ini menurut Syafiq Hasyim merupakan peralihan syariatisasi kultural menjadi syariatisasi struktural.
Pola perubahan ini menarik untuk dianalisis dalam diskursus akademik, namun bisa menjadi bias jika hanya diserahkan pada opini publik.
Terjadinya bias opini terhadap perubahan kewenangan ini disebabkan banyak hal, diantaranya: percakapan media sosial, bias polarisasi politik yang masih ada, dan bias kognitif masyarakat terhadap personal yang ada di pemerintahan, terutama Kementerian Agama.
Bias polarisasi politik menjadi faktor utama yang memengaruhi percakapan media sosial dan pembentukan opini publik sehingga terbentuk kecenderungan mencurigai segala sesuatu yang datang dari pemerintah.
Bahkan tidak hanya mencurigai, pada titik ekstremnya sampai pada narasi menyalahkan semua yang datang dari pemerintah.
Dipandang dari struktur pengelolaan negara, peralihan pengelolaan Jaminan Produk Halal dari MUI ke BPJPH adalah langkah baik yang harus diapresiasi.
Selama ini jaminan produk halal seakan-akan hanya tugas kultural keagamaan yang diinisiasi oleh MUI, sekarang negara hadir untuk menjamin dan bertanggung jawab penuh dalam menyelenggarakan jaminan produk halal.
Artinya, negara bertanggung jawab secara penuh terhadap keamanan produk yang dikonsumsi oleh masyarakat.
Dalam menjalankan perannya tersebut, di dalam UU JPH pasal 7 diatur bahwa pemerintah harus bekerja sama dengan MUI dalam tiga hal, yaitu sertifikasi auditor halal, penetapan kehalalan produk, dan akreditasi Lembaga Penjamin Halal (LPH).
Ringkasnya, MUI tetap memainkan peran pentingnya sebagai khodimul ummah wa shodiqul hukumah (pelayan umat dan mitra pemerintah). Hal ini yang patut diacungi dua jempol.
Peralihan ini bukanlah bentuk pelemahan MUI, apalagi umat Islam secara keseluruhan sebagaimana yang dibicarakan secara "kucing-kucingan" di media sosial. Di dalam UU JPH, peranan MUI sangat sentral dan tidak bisa diabaikan.
Saya yakin dan percaya, negara akan lamban mengelola jaminan produk halal jika harus menyiapkan sistem baru dan mengabaikan semua pengelolaan yang telah dibangun secara sistematis oleh MUI selama ini.
Bagi saya, percakapan tentang pengambil alihan fungsi MUI lalu berkembang menjadi pembicaraan tentang pelemahan MUI adalah isu-isu yang tidak berdasar, apalagi sampai pada narasi pelemahan MUI.
BPJPH dibentuk hanya sebagai pengatur jalannya administrasi dan birokrasi sertifikasi halal.
Lalu apa masalahnya? Soal peralihan kewenangan dari MUI ke BPJPH saya pikir sudah selesai dan tidak usah dipersoalkan.
Toh, pemerintah secara eksplisit dan implisit dalam UU JPH menegaskan eksistensi MUI.
Permasalahan lain muncul tatkala BPJPH mengubah logo halal yang selama ini sudah popular di masyarakat.
Penetapan logo halal baru tersebut didasarkan pada keputusan Kepala BPJPH No. 40 tahun 2022.
Soal kewenangan dan hak secara regulatif, tentu tidak ada yang salah dengan pelbagai perubahan logo tersebut.