Kiat ketiga yang disarankan oleh Harvard Business Review adalah senantiasa bertanya pada setiap asumsi. Dengan bertanya, pola pikir kita akan terasah.
Kemudian yang keempat, kita juga harus memberikan alasan dengan logika. Dan terakhir adalah memiliki pemikiran yang beragam dengan senantiasa berdiskusi dan mencari informasi.
Di Indonesia, perilaku berpikir kritis masih memiliki berbagai kendala. Dari banyaknya kendala, yang paling utama adalah takut salah. Hal itu disebabkan karena masyarakat menganggap orang yang berpikir kritis selalu melawan arus.
Mendobrak kebiasaan lama adalah hal yang menakutkan karena diasosiasikan sebagai perilaku tak biasa. Hal ini terjadi karena sistem pendidikan kita yang masih menggunakan pandangan benar atau salah.
Oleh karenanya, saat diajak berdiskusi, siswa di negara kita cenderung sedikit yang berani berpendapat.
Padahal, dalam penelitian Changwong dkk. (2018) diketahui bahwa siswa yang menguasai kemampuan berpikir kritis dan berwawasan luas akan berprestasi lebih baik secara akademis saat duduk di bangku kuliah.
Selain itu, mereka juga akan lebih siap menghadapi kerasnya akademik di perguruan tinggi dan dunia kerja karena telah mampu berpikir kreatif dalam memecahkan masalah.
Baca juga: Melatih Anak Mengelola Emosi agar Tidak Mudah Tantrum
Hadirnya media sosial sebenarnya dapat digunakan juga untuk beropini. Meskipun banyak diskusi-diskusi menarik, tapi banyak pula diskusi kusir yang tak berujung karena hanya mempermasalahkan kebenaran.
Pada akhirnya, diskusi itu tak melatih kita berpikir kritis karena tujuannya hanya untuk memuaskan ego semata. "Kita dibombardir oleh berbagai macam informasi sehingga untuk saat ini user, kita, punya hak penuh memilih informasi mana yang diterima," ujar Yogie
Ia pun melanjutkan, "Banyaknya informasi gak diimbangi dengan daya kritis, kalo gak punya (daya pikir kritis) tapi dituntut terus berkomentar, muncul komentar yang buruk."
Pada Februari lalu, kita dihebohkan dengan berita peringkat pertama warganet paling tak sopan se-Asia Tenggara.
Yogie dalam siniar Obsesif berujar bahwa pada saat ini kebenaran tak terlalu berpengaruh karena masyarakat lebih mengedepankan pendekatan emosional. Pendekatan inilah yang membuat kita tak berpikir sebelum bertindak.
Untuk menghindarinya, kita harus bersungguh-sungguh dalam memilih sumber informasi. Apabila menemukan informasi, baca dulu isinya dengan baik.
Setelah itu, kita simpan informasi itu sampai tahu kebenarannya sambil mencari apakah isinya memiliki kredibilitas atau tidak. Terakhir, kita tak boleh membagikan informasi itu sebelum mengetahui kebenarannya.
Dalam hal ini, saring sebelum sharing sangat diperlukan agar kita tak terjebak informasi buta. Banyak masyarakat yang kini bahkan bisa terjebak hanya dengan judul suatu berita tanpa membacanya.
Yogie juga menambahkan, "kita harus punya banyak perspektif dan jangan terlena sama satu perspektif dari satu figur. Karena jatuh-jatuhnya gak kritis dan itu hanya pendekatan emosional aja."
Siniar Obsesif ”Saring Sebelum Sharing, Kritis dalam Era Post-truth” yang bekerja sama dengan Logos.id, kali ini menghadirkan topik pentingnya berpikir kritis di era post-truth. Kalian bisa mendengarkannya secara lengkap di Spotify.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.