Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Medio by KG Media
Siniar KG Media

Saat ini, aktivitas mendengarkan siniar (podcast) menjadi aktivitas ke-4 terfavorit dengan dominasi pendengar usia 18-35 tahun. Topik spesifik serta kontrol waktu dan tempat di tangan pendengar, memungkinkan pendengar untuk melakukan beberapa aktivitas sekaligus, menjadi nilai tambah dibanding medium lain.

Medio yang merupakan jaringan KG Media, hadir memberikan nilai tambah bagi ranah edukasi melalui konten audio yang berkualitas, yang dapat didengarkan kapan pun dan di mana pun. Kami akan membahas lebih mendalam setiap episode dari channel siniar yang belum terbahas pada episode tersebut.

Info dan kolaborasi: podcast@kgmedia.id

Pentingnya Berpikir Kritis Sebagai Benteng Diri di Era Kini

Kompas.com - 07/03/2022, 14:15 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Penulis: Alifia Putri Yudanti & Brigitta Valencia Bellion

KOMPAS.com - Perkembangan zaman adalah salah satu fenomena yang tak dapat dihindari. Agar tetap teguh pada prinsip hidup, diperlukan kiat-kiat–yang pastinya membutuhkan tekad–untuk memulainya.

Salah satu elemen penting di era modern ini adalah berpikir kritis (critical thinking). Kritis sering kali diasosiasikan dengan melawan arus dan menyangkal seluruh argumen yang ada.

Padahal, dari etimologi katanya, yaitu kritikos (bahasa Yunani), ia memiliki makna tak hanya menunjukkan kesalahan tapi juga memberi solusi.

Berpikir kritis diperlukan agar kita bisa berpegang teguh dengan tujuan hidup yang terus diperjuangkan,” jelas Yogie Pranowo, Peneliti dan Dosen Filsafat, dalam siniar Obsesif bertajuk "Saring Sebelum Sharing, Kritis dalam Era Post-truth".

Untuk mencapainya, pasti terdapat hambatan, baik dari faktor eksternal maupun internal, seperti kelemahan atau kekurangan diri, godaan dari lingkungan dan orang lain, serta kultur yang sangat cepat berubah.

Pada masa sekarang, kultur kita beralih ke dunia digital. Terkadang, hal itu membuat kita lupa akan identitas diri karena kecanduan memanfaatkan teknologi. Oleh karenanya, daya kritis diperlukan agar manusia dapat menentukan tujuan tanpa harus melibatkan mesin-mesin algoritma.

Selain mesin, manusia juga dapat berubah karena terbawa arus masyarakat. Sering kali kita terlena dengan hal-hal yang viral di media sosial sehingga takut untuk ketinggalan setiap detiknya.

Pada akhirnya, kita tak menikmati hidup karena terpapar gengsi sosial dan fear of missing out (FOMO).

Baca juga: Stres Tak Kunjung Mendapat Pekerjaan? Simak Tips Berikut!

Kiat-kiat berpikir kritis

Manusia adalah makhluk yang kompleks. Agar mampu berpikir kritis, kita harus memiliki kesadaran terhadap tujuan hidup.

Meskipun berpikir kritis tampak sangat teoretis, kenyataannya ia adalah ilmu yang harus dipraktikkan. Dari situ, perlahan-lahan kita bisa menempatkan akal sehat (rasio) dan perasaan (emosi).

Yang perlu dilakukan pertama kali untuk melatih kita berpikir kritis adalah refleksi diri. Refleksi diri diperlukan agar kita kembali lagi dengan tujuan hidup. Latihlah diri untuk berefleksi dengan mempertanyakan setiap tindakan yang dilakukan; apakah berdampak baik atau buruk?

Menulis catatan kecil sebelum tidur juga merupakan salah satu upaya refleksi diri. Dengan menulis, kita akan mengevaluasi apa yang telah terjadi pada hari itu. Selain itu, kesadaran juga akan tercipta karena kita bisa melihat proses hidup melalui tulisan pada lembaran-lembaran kertas.

Hal kedua yang perlu dilakukan adalah bersikap rendah hati terhadap diri sendiri dan orang lain. Saat berdiskusi, pastinya kita juga akan menghadapi opini orang lain yang terkadang berseberangan.

Oleh karenanya, rendah hati dapat membuat kita lebih menghargai setiap informasi dan opini yang diterima.

Kiat ketiga yang disarankan oleh Harvard Business Review adalah senantiasa bertanya pada setiap asumsi. Dengan bertanya, pola pikir kita akan terasah.

Kemudian yang keempat, kita juga harus memberikan alasan dengan logika. Dan terakhir adalah memiliki pemikiran yang beragam dengan senantiasa berdiskusi dan mencari informasi.

Hambatan berpikir kritis

Di Indonesia, perilaku berpikir kritis masih memiliki berbagai kendala. Dari banyaknya kendala, yang paling utama adalah takut salah. Hal itu disebabkan karena masyarakat menganggap orang yang berpikir kritis selalu melawan arus.

Mendobrak kebiasaan lama adalah hal yang menakutkan karena diasosiasikan sebagai perilaku tak biasa. Hal ini terjadi karena sistem pendidikan kita yang masih menggunakan pandangan benar atau salah.

Oleh karenanya, saat diajak berdiskusi, siswa di negara kita cenderung sedikit yang berani berpendapat.

Padahal, dalam penelitian Changwong dkk. (2018) diketahui bahwa siswa yang menguasai kemampuan berpikir kritis dan berwawasan luas akan berprestasi lebih baik secara akademis saat duduk di bangku kuliah.

Selain itu, mereka juga akan lebih siap menghadapi kerasnya akademik di perguruan tinggi dan dunia kerja karena telah mampu berpikir kreatif dalam memecahkan masalah.

Baca juga: Melatih Anak Mengelola Emosi agar Tidak Mudah Tantrum

Hadirnya media sosial sebenarnya dapat digunakan juga untuk beropini. Meskipun banyak diskusi-diskusi menarik, tapi banyak pula diskusi kusir yang tak berujung karena hanya mempermasalahkan kebenaran.

Pada akhirnya, diskusi itu tak melatih kita berpikir kritis karena tujuannya hanya untuk memuaskan ego semata. "Kita dibombardir oleh berbagai macam informasi sehingga untuk saat ini user, kita, punya hak penuh memilih informasi mana yang diterima," ujar Yogie

Ia pun melanjutkan, "Banyaknya informasi gak diimbangi dengan daya kritis, kalo gak punya (daya pikir kritis) tapi dituntut terus berkomentar, muncul komentar yang buruk."

Tahapan berpikir kritis di media sosial

Pada Februari lalu, kita dihebohkan dengan berita peringkat pertama warganet paling tak sopan se-Asia Tenggara.

Yogie dalam siniar Obsesif berujar bahwa pada saat ini kebenaran tak terlalu berpengaruh karena masyarakat lebih mengedepankan pendekatan emosional. Pendekatan inilah yang membuat kita tak berpikir sebelum bertindak.

Untuk menghindarinya, kita harus bersungguh-sungguh dalam memilih sumber informasi. Apabila menemukan informasi, baca dulu isinya dengan baik.

Setelah itu, kita simpan informasi itu sampai tahu kebenarannya sambil mencari apakah isinya memiliki kredibilitas atau tidak. Terakhir, kita tak boleh membagikan informasi itu sebelum mengetahui kebenarannya.

Dalam hal ini, saring sebelum sharing sangat diperlukan agar kita tak terjebak informasi buta. Banyak masyarakat yang kini bahkan bisa terjebak hanya dengan judul suatu berita tanpa membacanya.

Yogie juga menambahkan, "kita harus punya banyak perspektif dan jangan terlena sama satu perspektif dari satu figur. Karena jatuh-jatuhnya gak kritis dan itu hanya pendekatan emosional aja."

Siniar Obsesif ”Saring Sebelum Sharing, Kritis dalam Era Post-truth” yang bekerja sama dengan Logos.id, kali ini menghadirkan topik pentingnya berpikir kritis di era post-truth. Kalian bisa mendengarkannya secara lengkap di Spotify.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com