Alasan utamanya adalah karena Jokowi cenderung lebih fleksibel dalam ideologi dan lebih akseptabel dari sisi latar belakang politik.
Jokowi tidak terikat secara penuh oleh suara captive partai yang berpeluang membuat perolehan suaranya terkunci pada kategori pemilih tertentu.
Begitu juga di laga 2014. Elektabilitas Jokowi secara personal yang cukup tinggi, berpadu dengan akseptabilitas publik Jokowi di hadapan kalangan non PDI-P, didongkrak pula dengan sosok JK yang diterima di NU dan Golkar, membuat Jokowi menjadi pilihan satu-satunya yang masuk akal secara matematika politik, ketimbang Megawati yang ketika itu terkesan sangat ingin maju pasca SBY selesai menjabat.
Posisi Jokowi di PDI-P hampir mirip SBY di Demokrat tahun 2004, sekalipun peran keduanya berbeda di dalam partai.
Tapi yang jelas, keduanya sama-sama bisa diterima di dalam dan di luar partai alias tidak tergantung pada "captive voter" dari partai sepenuhnya.
Bahkan, pencalonan SBY ataupun Jokowi menjadi salah satu faktor krusial dalam menambah raihan suara partai (coat-tail effect) karena memiliki sisi yang tidak terlalu fanatis kepada salah satu ideologi.
Tak berbeda dengan Joe Biden saat berhadapan dengan Donald Trump, misalnya, sebagai contoh pembanding lain.
Partai Demokrat tahun 2019-2020 menyadari bahwa melawan Donald Trump yang super kanan (far right) tidak bisa dengan kandidat yang super kiri (far left), karena akan mengunci pemilih pada "captive voter" masing-masing partai.
Dengan kata lain, Demokrat harus menghadirkan kandidat yang "center left" untuk meraih suara-suara yang tercecer oleh Donald Trump karena fanatisme kanannya.
Dan Joe Biden adalah kandidat yang tepat, bukan Bernie Sanders atau Elizabeth Warren, yang cenderung sangat ke kiri.
Menghadirkan Bernie Sanders atau Elizabeth Warren sebagai calon presiden akan membuat suara Partai Demokrat terkunci pada kalangan "left" dan "far left" di dalam partai.
Hal semacam itulah yang dialami oleh Hillary Clinton di tahun 2016.
Hillary Clinton adalah representasi dari "liberal wing" atau "Clintonian" di dalam Partai Demokrat, yang menjadi kompetitor kontradiktif dari kelompok "far left" besutan Bernie Sanders cs.
Walhasil, Bernie Sanders tidak meng-endorse Hillary Clinton secara ekplisit sehingga sebagian pendukung Partai Demokrat sayap kiri memilih tidak ke bilik suara ketimbang harus terjebak antara Hillary Clinton dan Donald Trump.
Sebagaimana telah disaksikan, meskipun mengantongi jumlah "popular vote" yang lebih banyak dibanding Donald Trump, Hillary Clinton tetap kekurangan kursi di Electoral College alias gagal melanjutkan estafet kepemimpinan Barrack Obama, yang cenderung agak miring ke kiri dari sisi kebijakan ekonomi pasca krisis finansial 2008 (pasca bailout Wall Street).