Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jaya Suprana
Pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan

Penulis adalah pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan.

Babak-Bunyak Mempelajari Musik

Kompas.com - 11/12/2021, 15:29 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SAMBIL menunggu saat menarik kemudian menghembuskan nafas terakhir, saya berusaha mempelajari apa pun yang bisa saya pelajari ketika menempuh perjalanan hidup di marcapada.

Niat saya sederhana saja, yaitu sekadar berupaya lebih dapat mengerti makna para benda yang benda mau pun benda yang tak-benda di universe, yang kemudian disebut multiverse serta kini sementara disebut metaverse ini atau itu.

Musik

Seingat saya dari sekian banyak benda tak-benda yang pertama saya pelajari adalah musik.

Meski suara adalah Anugerah Yang Maha Kuasa, namun musik adalah rekayasa manusia meski kemampuan membuat musik an sich juga merupakan Anugerah Yang Maha Kuasa.

Pertama saya mempelajari cara membuat musik dengan menggunakan kaleng-kaleng kosong yang saya asyik pukuli demi memunculkan aneka nada dan irama.

Kemudian lanjut dengan harmonika mulut, gitar, kontrabas, biolin, drum, pianoforte.

Semula saya merasa mengerti apa yang disebut sebagai musik. Namun setelah lebih jauh, lebih luas, lebih mendalam mempelajari apa yang disebut sebagai musik, yang ternyata sangat kompleks, merambah ke harmoni, melodi, birama, warna, polifon, homofon, bentuk, struktur, notasi, solfegio, analisa, era, jenis, semantika, morfologi, etnis, aleatorika, matematika, fisika, persepsi, epistrmologi, kelirumologi, interval, lingkaran kuintal, fraktal, dodekafoni, sejarah, estetika, orkestrasi, akustik, psikoakustik et cetera, et cetera tanpa kenal batas akhir mau pun awal maka alih slih merasa makin mengerti ternyata saya justru malah merasa makin tidak mengerti apa yang disebut sebagai musik.

Gagal mengerti

Misalnya saya tidak habis mengerti kenapa paralel interval kuint dan kuart apalagi tritonus dilarang keras dalam ilmu harmoni yang disepakati para musikolog akademis Barat sebelum Claude Debussy dan Armold Schoenberg.

Saya merasa gagal mengerti mengenai konspirasi rezim musik akademis Barat bahwa gerak akord dominan tidak boleh langsung ke akord sub dominan, tetapi harus disela tonika atau tonika sejajar.

Ternyata ilmu kontratitik Jawa beda banget dari ilmu kontratitik Barat warisan Bach.

Masalah menjadi makin sulit saya mengerti apabila musik dikaitkan dengan neuroscience, maka terkait dengan apa yang disebut sebagai selera mau pun kesadaran yang sengit mempertanyakan bukan hanya tentang benda dan tak-benda namun juga tentang ada dan tidak ada atau diadakan atau teradakan yang rawan menggelincir ke mengada-ada.

Belum lagi ketika saya berhadapan dengan misteri Michael Anthony yang tunanetra merangkap autis pada usia 8 tahun mendadak tanpa ada yang mengajar mampu mempergelar tiga sonata pianoforte no 8, no 14 dan no 23 mahakarya Ludwig van Beethoven.

Suatu keajaiban yang tidak perlu dijelaskan oleh para mahasaintis lewat jalur sains yang paling sains pun justru agar tidak kehilangan sukma estetika misterinya.

Saya senantiasa berupaya mematuhi kearifan Jawa seperti ojo dumeh dan ojo kagetan, namun mohon dimaafkan bahwa saya tidak mematuhi ojo gumunan karena saya memang keras-hati maka bersikeras menikmati indahnya keindahan yang terkandung di dalam gumun.

Babak Bunyak

Akhirnya setelah babak-bunyak akibat terseak-seok sehingga jatuh-bangun mempelajari apa yang disebut sebagai musik, maka lambat laun namun pasti saya tersadar bahwa pada hakikatnya saya tidak perlu mengerti tetapi cukup merasakan keindahan indahnya anugerah Yang Maha Kuasa dalam bentuk tak-benda kasat indera dengar yaitu apa yang disebut sebagai musik.

Memang apa boleh buat dengan daya pengertian manusia yang mustahil sempurna, pada hakikatnya tidak semua benda mau pun tak-benda di antara bumi dan langit bisa maka perlu dimengerti apalagi secara apa yang disebut sebagai ilmiah.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com