Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Taufan Teguh Akbari
Dosen

Pengamat dan praktisi kepemudaan, komunikasi, kepemimpinan & komunitas. Saat ini mengemban amanah sebagai Wakil Rektor 3 IKB LSPR, Head of LSPR Leadership Centre, Chairman Millennial Berdaya Nusantara Foundation (Rumah Millennials), Pengurus Pusat Indonesia Forum & Konsultan SSS Communications.

Memahami Followership: Kunci Sukses di Balik Kepemimpinan Efektif Zaman Now

Kompas.com - 28/06/2021, 07:44 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

 

Membangun jembatan komunikasi dengan pengikut

Kita bisa melihat betapa pentingnya anggota bagi keberhasilan organisasi. Apple, Amazon, Walmart, dan perusahaan besar lainnya tidak akan bisa sebesar sekarang jika tidak memiliki anggota hebat yang mendukung perusahaan.

Tetapi, kebanyakan para pemimpin lupa betapa pentingnya followership dan justru mereka hanya memandang anggota itu sebagai pelengkap dan tim mereka. Bagaimana menilai pemimpin saat ini adalah dengan kacamata anggotanya.

Dale Carnegie dalam studinya membuktikan itu. Mereka mengeluarkan studi yang berjudul Global Leadership Study pada 2017 yang menunjukkan empat blind spots pemimpin.

Pertama, 36 persen atasan yang konsisten menunjukkan apresiasi mereka terhadap karyawannya. Kedua, hanya 37 persen pemimpin yang berani mengakui kesalahan mereka.

Ketiga, hanya 36 persen anggota yang merasa pemimpinnya konsisten mendengarkan aspirasi mereka. Terakhir, hanya 32 persen anggotanya merasa pemimpinnya jujur.

Kemudian, Robert Walters Asia tahun 2019 mengeluarkan survei tentang alasan karyawan di suatu perusahaan mengundurkan diri.

Survei yang melibatkan 771 karyawan dan 496 manajer perekrutan ini menemukan lima penyebab mengapa karyawan resign dari perusahaan, diantaranya terbatasnya ruang berkembang di perusahaan, merasa digaji rendah, tidak lagi tertantang, merasa diremehkan, dan budaya perusahaan yang sudah tidak cocok, khususnya tidak ada budaya komunikasi terbuka.

Kemudian, dalam konteks masa pandemi di mana semuanya berjuang keras untuk bertahan, justru pemimpin tidak menunjukkan empati terhadap anggotanya.

Ilustrasi leadership.SHUTTERSTOCK Ilustrasi leadership.

 

Survei dari The Hub Event yang melibatkan 1.115 responden di Britania Raya menemukan fakta bahwa 53 persen anggota merasa bahwa pemimpinnya kurang berempati selama masa lockdown dan work from home (WFH).

Selain itu, 48 persen anggota merasa bahwa pemimpin tidak memeriksa keadaan timnya dan 32 persen mengatakan mereka tidak mendapat cukup dukungan bekerja dari rumah.

Hasil survei diatas bisa menjadi wake-up call bagi para pemimpin. Terlebih, di masa pandemi ini, membangun komunikasi semakin sulit dan menantang. Komunikasi juga menjadi lebih banyak virtual.

Cara biasa tidak akan bisa membangun keharmonisan antara pemimpin dan anggota. Pemimpin harus lebih kreatif lagi berhubungan dengan anggota mereka sendiri.

Survei tersebut dapat menjadi bahan refleksi agar pemimpin memperlakukan anggotanya dengan baik.

Tentunya, pemimpin harus mempertimbangkan kesejahteraan dan kenyamanan anggotanya agar bisa semangat dalam bekerja. Mereka adalah aset yang harus diberdayakan perusahaan.

Bayangkan bila anggota yang resign ini pindah ke perusahaan saingan dan justru mereka memberikan nilai lebih di dalamnya. Saya yakin, ini yang mestinya dihindari oleh banyak pemimpin.

E-leader dan e-followers

Agung Laksamana, Ketua Umum Perhumas Indonesia sadar akan hal itu. Ketika saya hubungi, menurutnya pemimpin harus lebih adaptif lagi dalam berkomunikasi.

Agung berpendapat, dahulu, para leaders bisa komunikasi tatap muka langsung agar terbangun trust dari follower-nya.

Sekarang, mau tidak mau, pimpinan harus beradaptasi berkomunikasi dengan pengikutnya melalui berbagai kanal yang ada, hidup didua alam, daring dan luring.

Pemimpin harus mampu berkomunikasi dengan berbagai media yang ada, baik itu media sosial, media elektronik maupun virtual.

Bahkan, zaman sekarang pun berubah dimana pemimpin harus menjadi e-leaders. Anggota pun juga sudah menjadi e-followers.

Lantas, apa yang pemimpin harus lakukan?

Beradaptasi dengan keadaan. E-followers akan mencari pemimpin yang punya skill digital, virtual, yang memiliki pola pikir global serta technically oriented dengan imlementasi digital leadership yang mumpuni. Lebih dari itu, mereka mencari pemimpin yang people-oriented.

Perspektif ini bisa jadi renungan untuk semua pemimpin, khususnya para pemuda yang akan melanjutkan estafet kepemimpinan.

Anggota adalah aset yang harus diberdayakan dan diberikan ruang empati yang seluas-luasnya. Manusia itu makhluk sosial yang menginginkan hubungan harmonis.

Filosofi itu yang harusnya dipegang oleh setiap pemimpin untuk membangun kedekatan dengan anggotanya. Terlebih, di situasi pandemi ini, kita semua lelah secara fisik, mental, sampai finansial.

Empati menjadi semakin penting agar anggota tahu pemimpin mereka memperdulikan nasibnya.

Kenapa leader yang harus memulai duluan untuk berhubungan dengan anggota mereka? Karena, menjadi pemimpin harus siap berperan sebagai panutan dan teladan.

Pemimpin harus menjadi contoh yang baik dalam bersikap dan berbuat. Di manapun kita berada, peran pemimpin selalu sama, yakni memanusiakan anggota dan menjadi role model.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com