Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Greg Teguh Santoso
Versatilist dan Auditor Sistem Manajemen

Sedang menyelesaikan studi S3 di Taiwan sembari menjadi pengajar di beberapa universitas.  Seorang versatilist yang gemar bertualang di dunia maya dan berkolaborasi di dunia nyata, membaca, mengajar, dan menulis. Mari mampir, tegur-sapa di versatilistmilenial2020@gmail.com.

Hallyu dan Harapan di Pilpres 2024

Kompas.com - 16/06/2021, 16:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SEBELUM Europhoria 2020 saat ini, haru-biru membincangkan BTS Meal berkelindan dengan panasnya diskusi tentang Pilpres 2024 mendatang.

Survei makin banyak dirilis dikaitkan dengan beragam tanggapan dari pengamat dan tokoh-tokoh partai politik. Masih jauh, masih lama, tetapi sudah ribut diperbincangkan.

Ya, kontestasi pemilihan presiden 2024 masih beberapa tahun lagi, tetapi aromanya telah menyengat kita akhir-akhir ini.

Ganjar Pranowo, Puan Maharani, Anies Baswedan, dan Prabowo Subianto selalu tak luput beredar di pusaran wacana tersebut selain seabrek tokoh lain.

Makin riuh-rendah, makin asyik kata Iwan Fals dalam lagunya bertajuk Asik Gak Asik: “..dunia politik penuh dengan intrik, cubit sana cubit sini itu sudah lumrah, seperti orang pacaran kalau nggak nyubit nggak asyik..”

Adapun BTS berselancar riuh di aneka kanal media sosial. Sejak 9 Juni lalu para ARMY penggandrung boyband BTS seantero bumi (tak kurang 50 negara) mulai ramai memesan dan ingin memiliki (entah sungguh menikmatinya atau tidak?) produk makanan cepat saji berkonsep BTS Meal yang sejatinya terdiri dari nugget, kentang goreng, minuman ringan, dan saus yang katanya didapuk khusus ala BTS bertajuk saus cajun (selain sweet chili sauce).

Menteri Erick Thohir termasuk salah satu tokoh yang terdampak gelombang BTS Meal melalui Sang Putri Bungsu yang merengek meminta kuliner tersebut. Baca juga: Ikut Berburu BTS Meal, Erick Thohir: Buat Anak Saya

Kiranya tsunami Hallyu merasuk cukup dalam dan masif di relung-relung bawah sadar dan benak konsumen milenial Indonesia.

Selain memicu berbagai antrean dan berpotensi melanggar protokol kesehatan, heboh BTS Meal ternyata memantik aneka kreativitas dari para penggilanya.

Ada penggemar yang mengkreasi berbagai pernak-penik seperti gantungan kunci, casing ponsel, dan hiasan botol minum berbasis bungkus serba ungu khas BTS.

Rupanya tak hanya produk kulinernya yang jadi rebutan, bekas bungkusnya pun laris dijual kembali oleh para penggemar melalui jalur daring (e-commerce) dengan harga lebih mahal dari produk makanannya sendiri. Bahkan ada kemasan yang diklaim masih baru dijual seharga 999 dolar AS di negeri Paman Sam.

Dengan demikian, tak berlebihan bila kita katakan bahwa Hallyu atau Korean wave merupakan bentuk dari budaya populer yang secara sengaja dan di-grand design oleh Negeri Ginseng, telah melanda seluruh dunia.

Selain populer, konsistensi dan berbagai inovasi yang diproduksi senantiasa menjaga eksistensi sungguh berhasil.

Hallyu di China

Diawali pada 1992, Korea membuka hubungan diplomatik lebih intens dengan China dan mulai memasukkan pengaruh budaya Korea ke dalam Negeri Tirai Bambu tersebut. Pada 1997 atau lima tahun kemudian hasilnya mulai tampak.

Drama televisi alias drakor berjudul What Is Love membetot khalayak negeri panda saat ditayangkan di salah satu stasiun televisi milik negara CCTV dan beroleh rating 4,2.

Artinya tak kurang dari 150 juta orang Tiongkok menyaksikan drama korea tersebut, suatu jumlah yang tak sedikit tentu.

Lambat laun, gelombang Korea makin akrab dengan kaum muda China hingga di tahun 1999 istilah Korean Wave atau Hallyu muncul dalam terbitan Beijing Youth Daily untuk pertama kalinya.

Hal itu terus berlanjut. Pada 2000 boyband Korea H.O.T melakukan debutnya dengan konser di Beijing yang disaksikan lebih dari 40 ribu penonton.

Hallyu mendunia

Pada 2003 ekspansi Hallyu merangsek ke Jepang melalui drakor Winter Sonata yang juga populer di Indonesia.

Popularitas serial drama ini mendongkrak pula kunjungan wisatawan seantero dunia ke Pulau Nami tempat yang dijadikan setting kisah drama tersebut. Suatu imbas yang memang diharapkan.

Tak henti di situ, para kreator seni Korea yang didukung penuh pemerintahnya serta para chaebol terus melanggengkan badai keberhasilan ombak Korea melalui grup-grup band selama kurun 2006-2011.

Di sini kita pernah mengandrungi boyband Big Bang hingga Girl Generation yang mulai merambah dunia digital alias internet.

Masih lekat dalam ingatan, pada 2012 meledaklah Gangnam Style menggoyang nyaris seantero dunia melalui lagak dan gaya Park Jae-sang atau Psy serta merajai puncak-puncak tangga lagu populer di Inggris hingga Amerika dan 30 negara lainnya.

Video lagu ini ditonton lebih dari tiga juta pemirsa melalui kanal Youtube dan mencapai angka 1.843.002.708 milyar kali penayangan sejak 15 Juli 2012.

Tak pelak, Gangnam Style menjadi batu fondasi bagi berbagai grup musik Korea lainnya untuk merambah dan merengkuh penggemar seluruh bumi.

BTS

Setahun setelahnya, melalui tangan dingin arahan Big Hit Entertainment, lahirlah Bangtan Sonyeondan atau Bangtan Boys alias BTS yang kita kenal kini dengan album Cool 4 Skool nan melejitkan namanya tak hanya di Korea tapi menaklukkan nyaris seluruh dunia di kurun waktu 2013 hingga 2017 termasuk di arena Festival Musik The Great Escape Brighton Inggris yang menggelar tema K-Pop Night Out.

Setelahnya, kemasyuran BTS juga melambungkan aneka produk budaya Korea lainnya seperti kuliner, fashion, literatur dan susastra, budaya tradisional hingga bahasa Korea ke banyak negara dan digandrungi aneka bangsa dunia.

Bahkan platform hiburan Netflix menayangkan kisah horor ala Korea sejak 2019 dan terus digemari hingga kini, berpuncak pada digenggamnya empat dari enam nominasi Piala Oscar lambang supremasi sinema dunia oleh film Parasite pada 2020, seolah menegaskan makin kukuhnya cengkeraman budaya Korea.

Demikianlah saat ini budaya Korea telah merambah dan merasuki dunia global, khususnya kaum muda milenial maupun Gen Z. Semua bukan instan, semua dipersiapkan secara seksama, butuh peluh dan proses serta konsistensi kreasi!

Strategi Budaya

Kristalisasi keringat (meminjam istilah Mas Tukul Arwana), penetrasi dan hegemoni Korean wave ini menjadi magnet kaum remaja yang memiliki sosok idola bahkan tak sedikit yang melakukan imitasi atasnya.

Contoh nyata, lepas dari imajinasi fiktif Homo sapiens, Korean makeup look atau riasan wajah ala Korea menjadi populer di kalangan remaja dan wanita muda khususnya di Asia.

Baca juga: BTS Meal dan Imajinasi Fiktif Homo Sapiens

Riasan wajah ala Korea ini menjadi populer karena dianggap sederhana, segar, dan cocok bagi wanita Asia.

Hampir seluruh remaja dan wanita muda di Asia memilih riasan wajah ala Korea untuk menunjang penampilannya. Jadilah, nyaris identik dengan proses westernisasi McDonald’s yang menciptakan standardisasi layanan kuliner cepat saji, riasan wajah ala Korea pun juga menciptakan standardisasi tersendiri dalam memaknai cantik.

E.B Taylor, salah satu ahli antropologi terkemuka, mendedahkan pengertian kebudayaan sebagai hal yang melingkupi semua pengalaman manusia yang meliputi pengetahuan, seni, moral, hukum, serta kapasitas dan perilaku lainnya yang diterima atau dipelajari oleh manusia dan anggota masyarakat (Taylor, 1887).

Dari definisi tersebut, dapat dikatakan bahwa budaya merupakan produk yang diciptakan oleh manusia sekaligus budaya jualah yang membentuk manusia dalam kehidupan sehari-hari.

Proses membentuk dan dibentuk dalam kebudayaan senantiasa bergulir kita sadari atau tidak, bergulir dinamis tiada henti.

Demikianlah, dalam konteks budaya, manusia disebut sebagai animal simboli yang merupakan makhluk yang penuh simbol dan makhluk yang hidupnya terbentuk oleh produk budaya itu sendiri.

Selain itu Taylor juga menandaskan bahwa budaya tidak diwariskan melalui kode genetik biologis, melainkan melalui proses enkulturasi yakni proses interaksi manusia di mana seorang individu belajar dan menerima budayanya serta ia turut larut membentuk budayanya, interaktif, dan berkesinambungan.

Budaya bersifat dinamis serta dapat tumbuh dan berkembang mengikuti perubahan zaman, karena budaya dikontruksi dan direkontruksi oleh manusia.

Namun, terdapat budaya yang tidak dapat diubah sebagaimana dijelaskan oleh Koentjaraningrat yang membagi budaya menjadi dua wujud budaya, yaitu fisik dan non-fisik (Koentjaraningrat, 1982).

Budaya yang berwujud fisik berbentuk produk dan sulit mengalami perubahan, contohnya candi dan prasasti. Sedangkan budaya non-fisik berbentuk ide-ide dan aktivitas manusia yang dinamis dan terbuka terhadap perubahan serta menyesuaikan dengan konteks zaman.

Budaya non-fisik berbentuk ide meliputi nilai, norma, gagasan, pesan moral, berbagai aktivitas seperti ritual, adat istiadat, tarian dan sebagainya.

Budaya non-fisik memiliki keterkaitan yang erat dengan globalisasi karena sifatnya yang dinamis dan dapat berubah sesuai dengan zaman.

Oleh karena itu, dalam konteks kekinian definisi budaya merujuk pada budaya non-fisik dalam bentuk ide dan aktivitas yang berjalin seiring jalan dengan digitalisasi mondial sehingga penyebaran budaya tidak lagi harus melalui migrasi namun dapat dilakukan melalui media sosial dan media massa.

Adanya akses internet tanpa batas seolah memudahkan penyerapan kebudayaan karena hampir semua orang terhubung dengan jaringan internet.

Tak pelak media sosial menjadi senjata utama dalam penyebaran budaya nan strategis dan ampuh, mengingat media berperan sebagai agen penyebaran budaya yang masif dengan menjadi jembatan antara agen dan konsumen, dilumuri interaksi penjual-pembeli yang ujung-ujungnya cuan.

Media merupakan saluran yang berpengaruh dalam distribusi kebudayaan global yang secara langsung memengaruhi perubahan gaya hidup masyarakat dan menjadikan masyarakat sebagai konsumen suatu budaya.

Bila kita (hanya) menjadi konsumen tanpa secara sadar dan proaktif menempa diri sebagai kreator nan inovatif, maka tak berlebihan bila kita tanpa sadar berada dalam kondisi ‘terjajah’, tak mandiri secara budaya!

Pilpres 2024 dan strategi kebudayaan

Penulis berimaginasi alangkah elok bila para tokoh yang digadang-gadang maju sebagai calon presiden 2024 kelak diwajibkan untuk menggagas suatu strategi kebudayaan Indonesia di era digital sebagai salah satu prasyarat pencalonan.

Beradu gagasan jenial di hadapan khalayak sebagai suatu proses edukasi masif sekaligus upaya membendung aneka impak negatif yang mungkin ditimbulkan dari sebaran gelombang hallyu maupun westernisasi ke jadi diri bangsa Indonesia.

Akan lebih asyik bila hal tersebut ditempatkan dalam konteks besar proses transformasi digital yang kini tengah marak terjadi atau ‘dipaksa’ terjadi dalam deraan pandemi Covid-19.

Strategi budaya dalam konteks digital diharapkan memberi insight sehat tanpa nada menggurui bagi seluruh elemen bangsa dan bukan suatu proses sekali jadi nan instan.

Konsistensi dan kesabaran berpeluh dalam proses ‘menjadi’ (to be) tinimbang memburu nafsu to have (memiliki).

Alangkah indah bila hal tersebut mewujud di tengah kontestasi para (calon) pemimpin bangsa ini di masa datang sembari menyapa dan menginspirasi kaum milenial agar tak tercerabut dari akar budaya bangsa sendiri dan terlena oleh pukau Korean Wave semata.

Bagaimana menurut Anda sang empunya kedaulatan tertinggi rakyat Nusantara?

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

5 Kasus Pembunuhan Mutilasi yang Jadi Sorotan Dunia

5 Kasus Pembunuhan Mutilasi yang Jadi Sorotan Dunia

Tren
Daftar Terbaru Kereta Ekonomi New Generation dan Stainless Steel New Generation, Terbaru KA Lodaya

Daftar Terbaru Kereta Ekonomi New Generation dan Stainless Steel New Generation, Terbaru KA Lodaya

Tren
Daftar Sekolah Kedinasan yang Buka Pendaftaran pada Mei 2024, Lulus Bisa Jadi PNS

Daftar Sekolah Kedinasan yang Buka Pendaftaran pada Mei 2024, Lulus Bisa Jadi PNS

Tren
Sering Dikira Sama, Apa Perbedaan Psikolog dan Psikiater?

Sering Dikira Sama, Apa Perbedaan Psikolog dan Psikiater?

Tren
Benarkah Kucing Lebih Menyukai Manusia yang Tidak Menyukai Mereka?

Benarkah Kucing Lebih Menyukai Manusia yang Tidak Menyukai Mereka?

Tren
Banjir di Sulawesi Selatan, 14 Orang Meninggal dan Ribuan Korban Mengungsi

Banjir di Sulawesi Selatan, 14 Orang Meninggal dan Ribuan Korban Mengungsi

Tren
Buah-buahan yang Aman Dikonsumsi Anjing Peliharaan, Apa Saja?

Buah-buahan yang Aman Dikonsumsi Anjing Peliharaan, Apa Saja?

Tren
BPOM Rilis Daftar Suplemen dan Obat Tradisional Mengandung Bahan Berbahaya, Ini Rinciannya

BPOM Rilis Daftar Suplemen dan Obat Tradisional Mengandung Bahan Berbahaya, Ini Rinciannya

Tren
Arkeolog Temukan Vila Kaisar Pertama Romawi, Terkubur di Bawah Abu Vulkanik Vesuvius

Arkeolog Temukan Vila Kaisar Pertama Romawi, Terkubur di Bawah Abu Vulkanik Vesuvius

Tren
Kapan Seseorang Perlu ke Psikiater? Kenali Tanda-tandanya Berikut Ini

Kapan Seseorang Perlu ke Psikiater? Kenali Tanda-tandanya Berikut Ini

Tren
Suhu Panas Melanda Indonesia, 20 Wilayah Ini Masih Berpotensi Diguyur Hujan Sedang-Lebat

Suhu Panas Melanda Indonesia, 20 Wilayah Ini Masih Berpotensi Diguyur Hujan Sedang-Lebat

Tren
Apa Beda KIP Kuliah dengan Beasiswa pada Umumnya?

Apa Beda KIP Kuliah dengan Beasiswa pada Umumnya?

Tren
Kisah Bocah 6 Tahun Meninggal Usai Dipaksa Ayahnya Berlari di Treadmill karena Terlalu Gemuk

Kisah Bocah 6 Tahun Meninggal Usai Dipaksa Ayahnya Berlari di Treadmill karena Terlalu Gemuk

Tren
ASN Bisa Ikut Pelatihan Prakerja untuk Tingkatkan Kemampuan, Ini Caranya

ASN Bisa Ikut Pelatihan Prakerja untuk Tingkatkan Kemampuan, Ini Caranya

Tren
Arkeolog Temukan Kota Hilang Berusia 8.000 Tahun, Terendam di Dasar Selat Inggris

Arkeolog Temukan Kota Hilang Berusia 8.000 Tahun, Terendam di Dasar Selat Inggris

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com