KOMPAS.com - Cerita panjang konflik Israel-Palestina tak kunjung menemui titik terang dari masa ke masa.
Terbaru, tensi kedua negara itu kembali memanas dalam beberapa hari terakhir karena dipicu oleh berbagai sebab.
Ratusan orang menjadi korban akibat konflik Israel-Palestina terbaru ini, termasuk di antaranya adalah puluhan anak-anak.
Bagaimana sebenarnya konflik tiada ujung ini?
Baca juga: Update Konflik Palestina-Israel: Korban Tewas Melonjak Jadi 137 Orang
Dosen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Ahmad Sahide menganggap konflik Israel-Palestina sebagai konflik permanen.
"Saya memberi istilah konflik ini dengan istilah Permanent Conflict (konflik permanen), sebab konflik ini berkepanjangan dan dan belum ada titik temu sebagai solusinya," kata Sahide saat dihubungi Kompas.com, Minggu (16/7/2021).
Ia menuturkan, konflik kedua negara itu bermula ketika orang Yahudi memaksakan mendirikan negara di tanah yang sudah ada penduduknya (Palestina) pada 1948.
Orang Yahudi mengklaim memiliki ikatan historis dengan tanah itu sebelum berdiaspora pada abad satu Masehi.
Sahide menjelaskan, konflik tersebut sulit untuk didamaikan karena tidak adanya dukungan politik bagi Palestina.
"Israel mempunyai dukungan politik yang kuat, sementara Palestina hanya mempunyai dukungan moril yang kuat," jelas penulis buku Gejolak Politik Timur Tengah (2017) itu.
Menurut dia, minimnya dukungan politik itu mengakibatkan tidak adanya strategi perjuangan bagi Palestina, seperti yang dilakukan Yahudi saat akan mendirikan negara.
"Saat itu, orang-orang Yahudi melakukan penggalangan dana dan mendekati negara-negara yang berpengaruh di kancah dunia," ujar dia.
Baca juga: Anwar Abbas: Kekejaman Israel Harus Dibalas dengan Perang Total
Sejak Senin (10/5/2021), kelompok milisi Palestina Hamas menghujani wilayah Israel dengan ribuan roket.
Meski demikian, sebagian besar roket itu berhasil dicegat oleh sistem pertahanan udaran Iron Dome Israel.
Sahide mengatakan, serangan Hamas atas Israel justru akan memberi alasan pembenaran bagi Israel untuk melakukan aksi brutalnya.
Hal itu dibuktikan dengan meningkatnya intensitas serangan Israel yang menewaskan lebih banyak korban dari pihak Palestina.
Karena itu, aksi militer terbukti tidak efektif dalam merespons konflik Israel-Palestina.
"Terbukti pilihan itu tidak efektif. Kalau pendekatan itu ya jelas kalah dari Israel yang didukung dengan teknologi tinggi," kata dia.
"Kalau kita lihat di peta, semakin lama semakin sempit wilayah Palestina. Sebaliknya, wilayah Israel semakin luas," sambung dia.
Alih-alih hanya mengecam tindakan Israel, Sahide menyebut pemimpin dunia harus melakukan pendekatan lain dalam meresponsnya.
"Soft diplomacy, misalnya," tutup dia.
Baca juga: Menilik Akar Konflik Palestina-Israel
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.