Berdasarkan verifikasi Kompas.com sejauh ini, informasi ini tidak benar.
KOMPAS.com – Sebuah unggahan yang di media sosial Facebook menyebutkan bahwa hasil tes PCR tidak tepat karena tidak mencontoh mesin kultur pembiakan anggrek.
Unggahan tersebut diunggah oleh Hakim Waluyo di akun Facebooknya, Rabu (3/1/2021) pukul 18.23.
Dari penelusuran dan konfirmasi yang dilakukan Tim Cek Fakta Kompas.com, informasi yang disampaikan dalam unggahan tersebut adalah tidak benar atau hoaks.
Akun Facebook Hakim Waluyo mengunggah sebuah gambar pembiakan tanaman anggrek, disertai narasi mengenai tes PCR.
Dalam narasinya, ia menyebut bahwa tes PCR tidak dapat mengidentifikasi kode RNA pada materi gen dalam virus. Ia menyatakan, jenis virus hanya dapat diidentifikasi melalui kode RNA.
"Masalah inilah yang tidak banyak dipahami masyarakat umum. Masyarakat hanya tahu jika PCR pasti tepat, bahkan kebanyakan orang hanya baca internet yang mengklaim alat ini sangat sensitif mengidentifikasi virus," demikian yang dituliskan dalam unggahan tersebut.
Dengan analisisnya, ia membandingkan cara kerja PCR dengan kultur jaringan pembiakan tanaman anggrek.
"Sesungguhnya keberadaan virus tersangka hanya dapat dibuktikan dengan mesin kultur yang bekerja seperti yang digunakan untuk pembiakan anggrek," tulis dia.
Dilansir dari The Scientist, teknologi polymerase chain reaction (PCR) pertama kali ditemukan oleh Kary Mullis pada 1980-an.
Teknologi PCR memudahkan peneliti untuk tidak lagi bersusah payah mengkloning, mengidentifikasi, dan mengisolasi potongan-potongan DNA sebelum mempelajarinya.
Ide tersebut muncul pada 1983, saat Mullis merenungkan tentang uji diagnostik klinis yang sedang dikembangkannya.
Uji diagnostik itu didasarkan pada strategi sekuensing dideoxynucleotide berbasis Frederick Sanger. Teknik ini secara efektif menjadi tes awal untuk varian genetik.
Sampelnya dapat diambil dari berbagai jaringan dan organisme. Termasuk diambil dari sampel periferal darah, kulit, rambut, air liur dan mikroba.
Tujuannya adalah menggunakan DNA polimerase dan memasangkan oligonukleotida primer untuk membaca nukleotida tunggal dalam DNA manusia yang terletak di antara keduanya.
Adapun, informasi dari Hakim Waluyo kurang tepat karena menyebutkan penguraian RNA.