Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Untar untuk Indonesia
Akademisi

Platform akademisi Universitas Tarumanagara guna menyebarluaskan atau diseminasi hasil riset terkini kepada khalayak luas untuk membangun Indonesia yang lebih baik.

Jurnalisme Musibah, Jurnalisme Empati

Kompas.com - 13/01/2021, 13:17 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Moehammad Gafar Yoedtadi

KECELAKAAN pesawat Sriwijaya Air SJ 182 di perairan Teluk Jakarta membuka lembaran tahun 2021 dengan keprihatinan.

Peristiwa itu seolah menambah kesedihan masyarakat akibat bencana wabah Covid-19 yang belum kunjung teratasi.

Terlepas dari itu, musibah kecelakaan pesawat yang menelan banyak korban tewas adalah berita besar. Tak salah jika media berlomba-lomba memberitakannya.

Nilai berita (news value) peristiwa musibah memang tinggi dan menjadi prioritas peliputan di setiap media. Namun, bagaimanakah cara media memberitakan musibah itu?

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) melontarkan sejumlah kritik terhadap pemberitaan musibah jatuhnya pesawat Sriwijaya Air SJ 182.

Beberapa contoh tindakan jurnalis yang dinilai AJI tidak sesuai Kode Etik Jurnalistik, antara lain jurnalis yang mencecar dengan pertanyaan, "Bagaimana perasaan Anda?" atau "Apa Anda punya firasat sebelumnya?" kepada seseorang yang keluarganya menjadi korban kecelakaan.

AJI juga mengkritik media yang mengangkat topik soal gaji pilot pesawat nahas itu. Menurut AJI mengangkat topik gaji pilot atau awak penerbangan dan semacamnya boleh jadi bersifat informatif, tapi kurang tepat diberitakan pada saat sekarang. Kecuali, ada indikasi kuat dalam proses penyelidikan bahwa itu menjadi faktor signifikan penyebab kecelakaan.

Contoh berita lain yang dikritik AJI adalah media yang menulis soal ramalan kejatuhan pesawat itu yang sumbernya dari peramal.

Contoh di atas mengesankan jurnalis dan media kurang menghormati pengalaman traumatik keluarga korban dan juga publik.

Kompetisi media

Masih teringat dalam benak penulis pemberitaan media ketika pesawat Air Asia QZ 8501 hilang di sekitar Laut Jawa saat terbang dari Surabaya menuju Singapura 28 Desember 2014. Terdapat jeda dua hari sebelum dipastikan pesawat yang hilang kontak itu jatuh ke laut.

Selisih dua hari adalah masa kritis bagi keluarga korban karena mereka masih berharap sanak saudaranya akan ditemukan dalam kondisi selamat.

Sebaliknya jeda dua hari penuh ketidakpastian adalah saat emas bagi media untuk menunjukkan kinerja terbaik peliputannya. Media yang berhasil pertama kali menjawab teka-teki itu adalah pemenangnya.

Maka, segala daya upaya akan dikerahkan untuk mendapatkan berita penemuan pesawat itu. Situasi ini sering kali membuat stres dan lelah awak media. Akibatnya, dalam memberitakan mereka kerap kali mengabaikan sisi perasaan keluarga korban.

Terbukti berita salah satu stasiun televisi yang dengan gamblang menayangkan tubuh salah seorang korban terapung-apung di laut.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com