Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jaya Suprana
Pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan

Penulis adalah pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan.

Corona Membuktikan Masuk Angin Ada

Kompas.com - 15/11/2020, 10:02 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SHAKESPEARE melalui Romeo ketika merayu Julia di Verona mempertanyakan “What is in a name?”.

Ternyata Departemen Kesehatan (Depkes) Orde Baru (Orba) di Indonesia meyakini bahwa nama sangat amat penting untuk dilarang. Terutama nama warisan kearifan leluhur Nusantara yang dianggap takhayul atau klenik bahkan hoaks oleh kaum penjajah yang berasal dari peradaban bukan Nusantara.

Para petinggi Depkes Orba terdiri dari para dokter dan apoteker yang dididik berdasar kaidah peradaban Barat mewarisi hobi kaum penjajah yaitu melecehkan kearifan leluhur Nusantara maka serta merta juga memandang rendah jamu dan penyehat Nusantara.

Meski de facto sebelum para dokter dan apoteker datang ke Nusantara, jamu dan penyehat Nusantara sudah terbukti mampu menjaga kesehatan dan kebugaran nenek moyang bangsa Indonesia pada masa kerajaan Sriwijaya, Majapahit dan Demak.

Masuk angin

Maka Depkes Orba giat menyelenggarakan aksi memusnahkan segala sesuatu yang beraroma asli Nusantara seperti nama istilah masuk angin.

Ketika dipertanyakan kenapa harus dilarang maka dengan tegas para petinggi Depkes Orba represif menegaskan bahwa istilah masuk-angin tidak masuk akal sehat para ilmuwan kesehatan Barat yang yakin bahwa tidak ada orang sakit akibat kemasukan angin.

Tidak ada masuk angin sebab yang ada cuma keluar angin dalam bentuk kentut atau bersendawa lewat mulut. (Padahal logikanya apabila ada yang keluar pastinya ada yang masuk. Jika tidak ada yang masuk maka tidak ada yang keluar).

Maka hukumnya wajib bahwa istilah masuk angin harus dimusnahkan dari kamus kesehatan Indonesia akibat sama sekali tidak saintifik! Bahkan apa yang disebut sebagai jamu modern harus disantifikasikan sesuai kaidah sains bukan Timur tapi Barat.

Namanya juga negara bekas terjajah maka masih harus tunduk kepada peradaban penjajah meski sebenarnya Indonesia sudah merdeka.

Karena tidak berani akibat tidak boleh melawan Depkes Orba yang memang sangat diktator mirip penjajah, maka terpaksa saya tunduk dan manut mengikhlaskan nama produk Tujuh Angin yang sejak 1918 diwariskan oleh kakek saya TK Suprana untuk wajib dimusnahkan untuk diganti menjadi Sriangin dan Basmingin di mana kata “angin” tidak jelas tampak.

Syukur Alhamdullilah, Orde Baru diganti oleh Orde Reformasi di mana wewenang pemberian izin produksi termasuk izin nama produk ditangani oleh BPOM yang lebih berjiwa demokratis ketimbang Depkes Orba.

Dr Handrawan Nadesul 

Lalu tiba pula masa pagebluk Corona di mana sang begawan informasi kedokteran Dr Handrawan Nadesul nan tersohor itu sibuk bermurah hati berbagi informasi termutakhir tentang ilmu kedokteran terkait virus Corona.

Dr Nadesul memberikan informasi tangan pertama langsung kepada saya bahwa virus Corona bisa menular bukan hanya lewat sentuhan ragawi atau semprotan batuk atau bersin belaka.

Ternyata penyakit akibat virus Corona juga bisa menular secara jarak jauh sampai lebih dari 10 meter melalui udara yang hanya bisa bergerak apabila ada hembusan angin.

Pernyataan Dr Nadesul dibenarkan Prof DR Chairil Anwar Nidom dari Universitas Airlangga sebagai peneliti virus Corona terkemuka bukan hanya di Indonesia namun juga di dunia kontemporer.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

5 Kasus Pembunuhan Mutilasi yang Jadi Sorotan Dunia

5 Kasus Pembunuhan Mutilasi yang Jadi Sorotan Dunia

Tren
Daftar Terbaru Kereta Ekonomi New Generation dan Stainless Steel New Generation, Terbaru KA Lodaya

Daftar Terbaru Kereta Ekonomi New Generation dan Stainless Steel New Generation, Terbaru KA Lodaya

Tren
Daftar Sekolah Kedinasan yang Buka Pendaftaran pada Mei 2024, Lulus Bisa Jadi PNS

Daftar Sekolah Kedinasan yang Buka Pendaftaran pada Mei 2024, Lulus Bisa Jadi PNS

Tren
Sering Dikira Sama, Apa Perbedaan Psikolog dan Psikiater?

Sering Dikira Sama, Apa Perbedaan Psikolog dan Psikiater?

Tren
Benarkah Kucing Lebih Menyukai Manusia yang Tidak Menyukai Mereka?

Benarkah Kucing Lebih Menyukai Manusia yang Tidak Menyukai Mereka?

Tren
Banjir di Sulawesi Selatan, 14 Orang Meninggal dan Ribuan Korban Mengungsi

Banjir di Sulawesi Selatan, 14 Orang Meninggal dan Ribuan Korban Mengungsi

Tren
Buah-buahan yang Aman Dikonsumsi Anjing Peliharaan, Apa Saja?

Buah-buahan yang Aman Dikonsumsi Anjing Peliharaan, Apa Saja?

Tren
BPOM Rilis Daftar Suplemen dan Obat Tradisional Mengandung Bahan Berbahaya, Ini Rinciannya

BPOM Rilis Daftar Suplemen dan Obat Tradisional Mengandung Bahan Berbahaya, Ini Rinciannya

Tren
Arkeolog Temukan Vila Kaisar Pertama Romawi, Terkubur di Bawah Abu Vulkanik Vesuvius

Arkeolog Temukan Vila Kaisar Pertama Romawi, Terkubur di Bawah Abu Vulkanik Vesuvius

Tren
Kapan Seseorang Perlu ke Psikiater? Kenali Tanda-tandanya Berikut Ini

Kapan Seseorang Perlu ke Psikiater? Kenali Tanda-tandanya Berikut Ini

Tren
Suhu Panas Melanda Indonesia, 20 Wilayah Ini Masih Berpotensi Diguyur Hujan Sedang-Lebat

Suhu Panas Melanda Indonesia, 20 Wilayah Ini Masih Berpotensi Diguyur Hujan Sedang-Lebat

Tren
Apa Beda KIP Kuliah dengan Beasiswa pada Umumnya?

Apa Beda KIP Kuliah dengan Beasiswa pada Umumnya?

Tren
Kisah Bocah 6 Tahun Meninggal Usai Dipaksa Ayahnya Berlari di Treadmill karena Terlalu Gemuk

Kisah Bocah 6 Tahun Meninggal Usai Dipaksa Ayahnya Berlari di Treadmill karena Terlalu Gemuk

Tren
ASN Bisa Ikut Pelatihan Prakerja untuk Tingkatkan Kemampuan, Ini Caranya

ASN Bisa Ikut Pelatihan Prakerja untuk Tingkatkan Kemampuan, Ini Caranya

Tren
Arkeolog Temukan Kota Hilang Berusia 8.000 Tahun, Terendam di Dasar Selat Inggris

Arkeolog Temukan Kota Hilang Berusia 8.000 Tahun, Terendam di Dasar Selat Inggris

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com