NASKAH “Menghayati Peribahasa Indonesia yang Kenyataannya Tak Lagi Sama” (kompas.com, 3 November 2020) memperoleh berbagai tanggapan dari berbagai pihak.
Mohon dimaafkan bahwa tidak semua tanggapan berani saya muat di dalam naskah ini. Terutama yang mengandung risiko dipanggil Bareskrim.
Yang aman saya muat, antara lain pesohor kolomnis kesehatan popular, dr. Handrawan Nadesul, menyarankan revisi peribahasa.
Pada prinsipnya yang lebih membutuhkan revisi bukan peribahasa namun manusia yang mengkhianati harapan peribahasa.
Sementara sang mantan diplomat Kemenlu RI yang sempat bertugas sebagai duta besar Liga Bangsa-bangsa kini disebut Permanent Mission to the UN and OIO di Jenewa merangkap mahaguru kejawen saya, Eddi Hariyadhi, menyadarkan saya tentang gejala gemar modifikasi utak-atik peribahasa Jawa demi disesuaikan dengan kenyataan oleh yang membutuhkannya.
Misalnya ananing dhiri dumunung ing lathi yang maknanya terlalu tinggi untuk bisa dijangkau daya pikir dangkal saya.
Sementara penguasa yang ingin berbuat sewenang-wenang memodifikasi peribahasa adiluhung Jawa ojo dumeh dipelintir menjadi ajakan adiburuk ayo dumeh. Dilengkapi ojo wedhi!
Petuah ngono yo ngono ning ojo ngono direkayasa menjadi ngono yo ngono ning yo ngono wae sementara pitutur mangan ora mangan sing penting kumpul diganti kumpul ora kumpul sing penting mangan oleh mereka yang bukan makan untuk hidup namun hidup untuk makan seperti saya.
Piwulang eling lan waspodo dirusak oleh mereka (termasuk saya) yang pelupa dan gegabah. Wejangan tut wuri handayani tidak dihiraukan mereka yang sibuk memperebutkan kekuasaan yang tidak termasuk saya sebab saya sama sekali tidak punya kekuasaan.
Tidak ada istilah legowo di dalam koleksi peribahasa para politisi yang lebih menyukai amarah demi melakukan balas dendam yang tidak perlu dilakukan oleh diri sendiri sebab siap dilakukan oleh para buzzer dan influencer baik yang professional mau pun yang amatiran!
Memprihatinkan bahwa makna adiluhur Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab tidak dihayati maka tidak didayagunakan sebagai pedoman kebijakan para penggusur rakyat miskin, pedagang kaki lima dan masyarakat adat.
Hukum bisa direkayasa untuk menyingkirkan segenap agenda pembangunan berkelanjutan agar secara konstitusional lebih bisa dan lebih boleh leluasa tanpa berkedip akibat tiada beban risiko pelanggaran hukum dalam ganas mengorbankan alam dan rakyat atas nama pembangunan
Lain halnya dengan humorolog kondang pemeta lelucon Indonesia masa kini, Darminto Sudarmo. Ia asyik provokasi memanaskan suasana humoristis-tragis dengan komentar seru.
“Benar, peribahasa tak selalu relevan dengan fakta. Akibatnya muncul peribahasa dalam makna perihbahasa. Buruk muka cermin di...jual! Bahkan aliran kontemporer mileneal bikin yang lebih revolusioner yaitu kecil dimanja, remaja foya-foya, tua bahagia, mati masuk surga!”
Hidup atau mati, wahai perih, eh peribahasa!
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.