"Padahal faktanya banyak sekali konten-konten siaran yang disediakan layanan OTT yang tidak sesuai dengan P3SPS dimaksud," lanjutnya.
Untuk alasan-alasan itu, pemohon meminta MK menyatakan Pasal 1 Angka 2 UU Penyiaran bertentangan dengan UUD 1945.
Baca juga: RCTI dan Inews Gugat UU Penyiaran ke MK karena Tak Atur YouTube hingga Netflix
Pada sidang lanjutan dari gugatan ini, yaitu Rabu (26/8/2020), Direktur Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika, Ahmad M Ramli menyebut sejumlah dampak soal gugatan tersebut.
Menurut dia, jika permohonan dikabulkan, masyarakat tidak lagi bisa secara bebas memanfaatkan fitur siaran di platform media sosial.
"Definisi perluasan penyiaran kan mengklasifikasikan kegiatan seperti Instagram TV, Instagram live, Facebook live YouTube live dan penyaluran konten audio visual lainnya dalam platform media sosial akan diharuskan menjadi lembaga penyiaran yang wajib berizin," kata Ramli dalam persidangan di MK, Rabu (26/8/2020).
"Artinya kita harus menutup mereka kalau mereka tidak mengajukan izin," tuturnya.
Ramli mengatakan, apabila kegiatan-kegiatan tersebut dikategorikan sebagai penyiaran, maka lembaga negara, lembaga pendidikan, konten kreator, baik badan usaha ataupun badan hukum yang menggunakan platform OTT harus memiliki izin sebagai lembaga penyiaran.
Apabila tidak memiliki izin, maka dapat dinyatakan melakukan penyiaran ilegal dan terancam sanksi pidana.
Menurut Ramli, mengingat penyedia layanan audio-visual yang umumnya melintasi batas negara, menjadi mustahil untuk menerapkan hukum Indonesia di luar wilayah yurisdiksi dalam negeri.
Baca juga: WHO Rekomendasikan Tes Covid-19 pada Orang Tanpa Gejala, Ini Alasannya
(Sumber: Kompas.com/Fitria Chusna Farisa |Editor: Kristian Erdianto, Icha Rastika)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.