Tak hanya enam negara itu, pihak ketujuh dalam polemik adalah indonesia.
Indonesia bersinggungan erat sebab Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Natuna berada dalam garis sembilan garis China.
Meskipun Jakarta bersikeras itu adalah "pihak yang berkepentingan" dan bukan penuntut dalam perselisihan karena kedaulatannya atas perairan tidak perlu dipertanyakan kembali.
"Saya pikir negara-negara ini akan ingin melihat kemajuan dalam menghasilkan kode perilaku yang layak dan karena itu kemungkinan besar akan menawarkan dukungan mereka untuk memastikan stabilitas pada saat ketegangan regional memuncak," ujar Nazia.
Sementara konfrontasi baru-baru ini berarti negara-negara penuntut lebih cenderung berada di wilayah yang sama dengan Vietnam pada bahasa yang sulit mengenai sengketa laut.
Pada pembicaraan kode etik, para analis terpecah pada apakah negosiasi akan mempercepat ketika mereka melanjutkan kembali tahun ini.
Baca juga: Antisipasi Eskalasi Konflik AS-China di Laut China Selatan, TNI Siagakan 4 KRI di Natuna
Para pejabat senior dari 10 negara dan China akan bertemu pada 1 Juli 2020 untuk membahas dimulainya kembali perundingan dan Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi mengatakan, kemajuan dalam negosiasi akan meredakan ketegangan di perairan.
Selain itu, editor jurnal Kontemporer Asia Tenggara, Ian Storey mengungkapkan, ketidakmampuan para pejabat untuk bertemu awal tahun ini mengindikasikan batas waktu China yang sudah tidak realistis untuk kode etik yang akan ditandatangani sebelum akhir 2021 tidak akan dipenuhi.
Adapun inti dari pembicarann yakni mengenai bagaimana mengikat perjanjian itu nantinya, dan jika jika negara-negara Asia Tenggara akan menyetujui permintaan utama China bahwa negara-negara luar, seperti AS harus dilarang dari kegiatan militer atau komersial di perairan.
Vietnam, yang telah memperkuat hubungan bilateral dengan AS dalam beberapa tahun terakhir, telah menolak permintaan ini.
Sementara, peneliti ISEAS-Yusof Ishak Institute, Le, mengatakan bahwa sebagian besar negara-negara ASEAN termasuk Vietnam menginginkan kode etik yang efektif, dan bukan dokumen politik seperti Deklarasi tentang Perilaku Para Pihak di Laut China Selatan.
Di sisi lain, menurut Kepala Kajian Studi ASEAN, Ahmad Ibrahim Almuttaqi, percaya pandemi akan mendominasi KTT.
Kesulitan utama dalam mengoordinasikan upaya pemulihan adalah bahwa ke-10 negara berada pada tahap yang berbeda dalam respons mereka terhadap pandemi dan sejauh ini telah mengambil pendekatan berbeda yang mengarah pada hasil yang beragam.
"Saya pikir di pihak Indonesia, itu akan mencoba untuk mendorong agendanya untuk memastikan bahwa setiap vaksin dapat diakses untuk semua negara, baik kaya maupun miskin," ujar Ahmad.
Baca juga: Abaikan Hukum, China Beri Nama 80 Pulau dan Fitur Geografis di Laut China Selatan
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.