Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Syafiq Basri Assegaff
Pengamat masalah sosial

Pengamat masalah sosial keagamaan, pengajar di Institut Komunikasi dan Bisnis LSPR, Jakarta.

Tentang Rumah dan Jumat Terakhir Ramadhan

Kompas.com - 17/05/2020, 20:47 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BILA Anda bosan di rumah gara-gara wabah Corona, mungkin itu saatnya Anda bercermin pada dua perkara ini.

Pertama: bayangkan betapa bosan, sedih dan kacaunya kehidupan Anda jika harus hidup terusir di pengungsian, sedangkan kampung halaman hanya berjarak 130-an kilometer.

Tetapi Anda tidak boleh pulang untuk berladang atau kembali beternak kambing, sementara anak-anak Anda juga tak bisa pergi ke sekolah yang dulu, atau balik mengaji di surau guna melantunkan Ratib Haddad, Maulid, membaca wirid, Barzanji atau pun melantunkan Doa Kumail.

Yang di atas itu di Indonesia, yang terjadi pada ratusan pengungsi asal Sampang, Madura – yang terusir sejak belasan tahun lalu dan mulai 2011 hingga kini terpaksa tinggal di Rumah Susun Puspa Agro, Jemundo, Sidoarjo, Jawa Timur.

Yang kedua di Palestina: rumah Anda bukan hanya harus ditinggalkan, tetapi sudah dirangsek “tetamu” yang dulunya hanya menumpang di tetangga sebelah.

Jika masih bisa bertahan dan belum sempat terusir, Anda diperlakukan seolah penjahat, kadang bagaikan hewan yang tidak punya hak asasi manusia – tak peduli apa agama yang Anda anut.

Bagi keduanya, rumah itu kini jadi sesuatu yang mewah, sesuatu yang ideal, tempat ayah, ibu dan anak-anak berkumpul dan berbagi kehidupan; tempat mimpi terwujud dalam sebuah tetirah yang damai.

Namun, kini semua itu tak ada lagi – tergeser, di-remove, di-delete dari benak mereka.

Dari keduanya itu sebenarnya kita bisa bercermin: betapa menyenangkannya hidup di rumah sendiri, meskipun selama masih ada wabah Corona ini Anda tidak bisa bekerja di kantor atau pabrik, dan anak-anak terpaksa belajar dari rumah selama beberapa bulan.

Tetapi Anda tidak boleh punya pendapat atau pandangan yang demikian. Kalau pun boleh, Anda telah dibuat lengah, bahkan ‘tersihir’ sehingga menganggap hal itu tidak penting, tidak berpengaruh pada kehidupan kita, tidak perlu dipedulikan -- seolah itu bukan urusan kita.

Sejatinya itu bukan sikap Anda yang asli, karena sesungguhnya jiwa fitri Anda pasti menolak perlakuan demikian – Anda suka pada kedamaian, keadilan, dan peduli pada nasib sesama.

Sutradara yang mengaduk-aduk sikap

Tetapi berkat (atau lebih tepat, “akibat”) penggiringan opini oleh para ‘sutradara besar’ di luar sana (yang juga memengaruhi rekannya di berbagai negara), maka kita jadi tidak peduli, atau minimal ‘kurang’ concern.

Kata Chomsky, manufactured consent telah menggiring banyak orang jadi ‘pembebek’ setia yang menuruti apa yang diatur sang sutradara. Lewat media, penggambaran apa yang harus diperhatikan atau dianggap penting jadi mudah diatur.

Jika sang sutradara bilang urusan Palestina atau Yaman tak perlu diurus, tak perlu diperhatikan, ya begitulah kemudian sikap banyak orang di dunia.

Kota Yerusalem, menjadi ganjalan utama proses perdamaian Israel-Palestina.Thinkstock Kota Yerusalem, menjadi ganjalan utama proses perdamaian Israel-Palestina.

Melalui agenda setting dan framing, segala yang media suguhkan bagi kita itulah yang kemudian ‘penting’ bagi kita; jika media bilang perkara pengungsian atau perampokan tanah itu tidak penting, maka kita pun turut melupakannya, ikut mengabaikannya – seringkali tanpa kita sadari.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com