Kita juga akan enggan memperingati Hari Pembebasan Jerusalem (Al-Quds) pada setiap Jumat terakhir Ramadhan.
Semuanya itu mengingatkan kita pada teori penilaian sosial (social judgment theory) yang digagas pertama kali oleh psikolog sosial asal Turki Muzafer Sherif dan kawan-kawannya.
Pada intinya teori itu memperkirakan bagaimana Anda akan menilai sebuah pesan dari seseorang (saya perluas, juga dari media) dan bagaimana penilaian Anda terhadapnya akan berpengaruh pada sistem keyakinan Anda sendiri.
Sherif yang pernah belajar dari Gordon Allport di Harvard University, AS, mencontohkannya lewat eksperimen persepsi pada tiga buah mangkuk air yang masing-masing berisi air panas, air hangat dan air dingin.
Coba letakkan tangan kanan Anda di mangkuk air dingin dan tangan kiri di mangkuk air panas, lalu pindahkan keduanya ke mangkuk yang berisi air hangat yang ada di antara keduanya.
Hasilnya, persepsi Anda terhadap suhu air akan berbeda: tangan kanan akan terasa ‘lebih dingin’, dan tangan kiri Anda terasa ‘panas’ – padahal air hangat itu berada di mangkuk yang sama.
Itu stimulus fisik. Ternyata persepsi bisa juga terjadi secara sosial. Sebuah persepsi sosial bergantung pada acuan internal diri.
Dengan kata lain, acuan (rujukan) yang berada di kepala kita didasarkan pada “pengalaman” sebelumnya.
Nah, pada saat ‘pengalaman’ kita selama ini (khususnya berkat paparan media yang Anda konsumsi) menunjukkan bahwa perkara Palestina dan Yaman tidak penting, umpamanya, maka sikap Anda terhadap urusan itu pun juga masuk pada rentang ‘menerima’ atau setidak-tidaknya ‘kurang memedulikannya’.
Jangankan ikut berdemo mendukung Palestina, jika pun tahu ada Al-Quds di sana, Anda tak peduli pada upaya pembebasannya.
Menurut Sherif dan kawan-kawannya, sebuah sikap (attitude) merupakan hasil campuran tiga zona yang diaduk-aduk ke dalam kepala kita.
Zona pertama adalah perkara-perkara yang Anda anggap penting dan perkara lain yang Anda anggap ‘bisa diterima’. Itulah latitude of acceptance.
Ada lagi latitude of rejection, yakni pendapat (opini) yang Anda tolak, perkara-perkara yang Anda coret dari daftar di kepala Anda.
Terakhir, ada perkara yang berada di tengah-tengah: tidak Anda terima tetapi tidak juga ditolak. Didefinisikan sebagai latitude of noncommitment, pada zona ketiga ini orang tidak memberikan pendapat, semacam ‘undecided’ atau ‘no opinion’ pada sebuah perkara.
Selama ini, Zionis menggiring warga dunia dari latitude of rejection (menolak perampasan tanah) kepada acceptance (menerima pendudukan mereka di tanah Palestina).