Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Melihat Perbandingan antara Pandemi Covid-19 dan Pandemi Flu Babi

Kompas.com - 22/03/2020, 16:00 WIB
Luthfia Ayu Azanella,
Rizal Setyo Nugroho

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Sebelum adanya virus corona yang menyebabkan Covid-19 seperti yang terjadi saat ini, ada juga penyakit yang kemudian dinyatakan sebagai pandemi global, yaitu Flu Babi.

Pandemi Flu Babi yang disebabkan virus H1N1 terjadi sekitar 11 tahun yang lalu, tepatnya pertengahan tahun 2009 hingga tahun 2010. Ini merupakan pandemi terakhir yang terjadi sebelum Covid-19 sekarang.

Jika dilihat dari angkanya, Covid-19 dan Flu Babi sama-sama memakan banyak korban jiwa.

Untuk infeksi virus corona baru yang masih menyebar hingga saat ini, setidaknya dalam rentang waktu 3 bulan sudah ditemukan 307.280 kasus yang terkonfirmasi positif, dan 13.069 di antaranya berujung kematian.

Angka ini diperoleh dari SCCE John Hopkins University data  per Minggu (22/3/2020) pukul 12.43 dan diperkirakan masih akan terus bertambah, karena tren persebarannya di sejumlah negara juga belum menunjukkan penurunan.

Sementara jumlah kasus untuk Flu Babi, berdasarkan data dari Centers for Disease Protection and Control, telah menginfeksi lebih dari 1,4 miliar orang di seluruh dunia dan menewaskan sekitar 575.000 korbannya.

Baca juga: Cerita Pengalaman Relawan Menjalani Uji Coba Vaksin Corona di Wuhan

Meskipun sama-sama dinyatakan sebagai pandemi oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), keduanya memiliki sejumlah perbedaan.

Melansir Live Science (19/3/2020) berikut ini perbedaan antara pandemi Flu Babi H1N1 (2010) dan pandemi Covid-19 (2020).

Penyebab

Flu Babi disebabkan oleh strain baru H1N1 yang berasal dari Meksiko hingga akhirnya menyebar ke seluruh dunia.

Sebelumnya sejumlah negara juga pernah mengalami pandemi yang diakibatkan oleh H1N1, ketika itu adalah Flu Spanyol yang terjadi di era 1918. Flu Spanyol menjadi pandemi pertama yang terjadi di dunia.

Sementara Covid-19 disebabkan oleh adanya virus corona jenis baru yang diduga berasal dari Wuhan, China akhir Desember 2019. Virus ini kemudian dikenal sebagai SARS-CoV-2.

Korban

Flu Babi banyak menyerang kalangan anak-anak dan dewasa muda. Bahkan, berdasarkan laporan CDC 80 persen kasus kematian terjadi pada golongan di bawah usia 65 tahun.

Orang-orang tua dalam kasus serangan virus ini seolah-olah memiliki sistem kekebalan tubuh tersendiri sehingga tidak mudah terinfeksi.

Fakta ini tentu tidak biasa, karena pada umumnya sebagian besar jenis virus flu menyebabkan kematian pada orang dengan usia lanjut, atau 65 tahun ke atas.

Lain halnya dengan pasien dari Covid-19 yang sebagian besar kasus meninggal terjadi pada pasien yang berusia di atas 60 tahun yang memiliki gangguan kesehatan bawaan sebelumnya.

Mengingat pandemi virus corona yang masih terjadi, peneliti masih mendalami untuk memastikan seberapa rentan infeksi virus corona pada pasien berdasarkan kelompok umur. 

Baca juga: Cara Tetap Waspada tetapi Tidak Panik di Tengah Kekhawatiran Wabah Virus Corona

Penyebaran

Perbedaan selanjutnya antara Flu Babi dan Covid-19 terletak pada cara penyebarannya.

Virus H1N1 yang menyebabkan terjadinya Flu Babi menyebar melalui cairan (droplets) juga partikel di udara.

Sementara SARS-CoV-2 sebagian besarnya menyebar melalui droplets. Tetesan cairan yang di dalamnya terdapat virus ini bisa berpindah dari pasien yang telah terinfeksi ke orang yang sehat.

Namun droplets yang tertinggal di berbagai benda mati juga berbahaya, sebab penularan juga bisa terjadi lewat sana.

Untuk itu, salah satu cara yang dianjurkan untuk mencegah tertular virus ini adalah dengan sering-sering mencuci tangan menggunakan sabun.

Gejala

Pada Flu Babi, gejala yang muncul mirip dengan gejala yang muncul pada flu pada umumnya, yakni demam, batuk, sakit kepala, sakit tubuh, sakit tenggorokan, menggigil, kelelahan, dan pilek.

Gejala itu akan muncul 1-4 hari setelah seseorang terinfeksi virus.

Flu Babi cenderung tidak terlalu menular jika dibandingkan dengan Covid-19. Nilai R-nought yang dimiliki adalah 1,46 sedangkan Covid-19 adalah 2-2,5.

R-nought atau angka reproduksi dasar adalah jumlah kasus yang dihasilkan oleh satu kasus secara rata-rata selama periode menularnya, dalam populasi yang tidak terinfeksi atau jumlah orang yang bisa terpapar virus dari seseorang yang menderita.

Baca juga: Pengantin di Malaysia Ini Gelar Pernikahan ala Drive Thru karena Wabah Virus Corona...

Kemudian untuk Covid-19, sebagian besar gejala yang muncul adalah korban mengalami demam, batuk kering, dan sesak nafas.

Sesak nafas yang terjadi pada penderita Covid-19 bisa mengarah pada masalah pernafasan yang serius seperti pneumonia.

Ada juga gejala lain yang mengikuti, seperti sakit kepala, tenggotokan, perut, bahkan diare. Namun gejala-gejala ini jarang terjadi.

Yang lebih  mengkhawatirkan, ada pula penderita Covid-19 yang hanya menunjukkan gejala ringan atau tidak bergejala sama sekali.

Hal itu dimungkinkan, karena virus memiliki masa inkubasi di dalam tubuh selama 14 hari.

Bisa jadi, seseorang masih terlihat sehat namun sesungguhnya di dalam tubuhnya sudah terdapat virus yang bisa ditularkan ke siapa pun yang ada di sekitarnya.

Penanganan

Amerika Serikat disebut lebih cepat dalam mengangani Flu Babi 2009 dibanding dengan Covid-19 yang terjadi saat ini.

Di awal kemunculannya, 2 virus baru itu sesungguhnya tidak lama langsung diumumkan urutan genetiknya, sehingga vaksin bisa diproduksi sesegera mungkin.

Misalnya urutan genetik dari H1N1 Flu Babi yang diumumkan CDC hanya 4 hari setelah kasus pertama ditemukan, mengunggahnya ke basis data publik dan mengembangkan vaksin untuk menanganinya.

Tidak jauh berbeda, dalam kasus Covid-19 pun, China sudah mengunggah urutan genetik virus di hari ke-5 sejak kasus pertama ditemukan, 31 Desember 2020.

Namun, perbedaan penanganan mulai terlihat setelah itu.

Baca juga: Bagaimana Cara Membuat Cairan Disinfektan Sendiri?

Kasus pertama Covid-19 di Amerika Serikat terdeteksi pada 20 Januari 2020 dan departemen kesehatan setempat menyatakan Covid-19 sebagai darurat kesehatan masyarakat 11 hari setelahnya.

Ketika itu, CDC mulai mengirimkan kit pengujian yang berasal dari tahun 2014 untuk menangani Sars-CoV-2 ke ratusan laboratorium di sepenjuru negeri.

Namun, sebagian mendapatkan peralatan yang salah sehingga terjadi penundaan dalam menangani virus ini.

Pengujian pun hanya bisa dilangsungkan di markas CDC hingga dikirimkan peralatan pengganti ke laboratorium-laboratorium yang sebelumnya menerima peralatan yang salah.

Sementara saat Flu Babi menyerang, status darurat kesehatan masyarakat sudah dikeluarkan sejak 2 hari setelah ditemukannya kasus pertama.

Dan hanya dalam waktu 4 minggu atau sebulan, CDC mulai melepaskan obat-obatan yang dapat mencegah flu tersebut. Sebagian besar negara bagian di AS pun memiliki laboratorium yang bisa mendiagnosis H1N1 tanpa verifikasi dari CDC.

Baca juga: Cegah Virus Corona, Maskapai Ini Hentikan Rute Penerbangan ke Malaysia

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com