Operasi maritim membutuhkan keandalan infrastruktur keamanan laut dan pembaruan terhadap doktrin pertahanan laut yang mengedepankan aspek intelijen dan teknologi.
Bidang intelijen maritim harus dibenahi sehingga mencapai kemampuan pengawasan yang tangguh. Situasi dunia menuntut agar Indonesia mampu mewujudkan kemampuan intelijen maritim yang canggih.
Intelijen maritim merupakan bagian intelijen strategis dalam upaya untuk menjamin stabilitas nasional dan upaya untuk penginderaan terhadap lingkungan strategis baik di dalam maupun di luar negeri.
Intelijen maritim fokus pada kegiatannya terkait bidang maritim atau yang berpengaruh terhadap kemampuan maritim negara asing maupun negara sendiri.
Kapasitas dan postur intelijen nasional sebaiknya diarahkan untuk meneguhkan kemampuan intelijen maritim.
Jangan ada lagi operasi intelijen yang sektarian, yaitu yang membatasi pada dimensi pengamanan dan sektoral. Misalnya, TNI Angkatan Laut (AL) tidak lagi membatasi pada naval intelligence, tetapi lebih luas yaitu maritime intelligence yang mampu menyediakan informasi strategis kepada institusi maritim nasional. Seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian Perhubungan, Kementerian ESDM, Kementerian Pariwisata, Kementerian Lingkungan Hidup, Bea Cukai, dan Kepolisian.
Untuk itu, urgensi membangun sejumlah infrastruktur pangkalan dan sarana pemeliharaan kapal perang tak terhindarkan lagi.
Infrastruktur tersebut utamanya untuk mendukung efektivitas Markas Komando Armada ketiga yang terletak di Sorong, Papua Barat.
Selama ini kekuatan tempur TNI AL masih bertumpu pada dua armada wilayah, yakni barat atau Armabar, dan timur atau Armatim. Jumlah kapal perang milik TNI AL hanya berjumlah 151 unit. Padahal, jumlah kapal perang RI pada 1960-an berjumlah hingga 162 kapal.
Sistem komando armada yang bertugas membina kemampuan Sistem Senjata Armada Terpadu (SSAT) yang terdiri dari kapal perang, pesawat udara, pasukan marinir, dan pangkalan sebaiknya lebih bersinergi dengan instansi lain yang juga mengelola wilayah laut.
Kemampuan peperangan laut dan kesiapan operasi laut pada saat ini harus bisa berubah menjadi operasi non-perang yang mendukung penegakan kedaulatan dan hukum di laut, serta mengamankan potensi ekonomi di laut.
Tugas penting lanjutannya adalah membentuk sistem nasional pengawas kelautan yang andal dengan tiga aspek penting.
Pertama, aspek informatif. Sistem harus memberikan informasi yang lengkap tentang kondisi kelautan nasional, baik dari sisi sumber daya laut, keadaan perairan, cuaca, kejadian penting di laut (accident maupun incident), tanda-tanda navigasi laut yang sangat membantu bagi kapal berlayar, dan segala informasi mengenai laut lainnya.
Kedua, aspek integratif. Tumpang tindihnya pengadaan infrastruktur dan pemasangan peralatan pengawasan antar departemen bisa diatasi, sehingga ada penghematan anggaran negara.
Karena jumlah peralatan atau sistem yang dibangun tidak bertabrakan dalam hal jangkauan pada suatu daerah atau sistem dan fungsinya.
Selain itu, dengan solusi interoperabilitas maka masalah selang-seling pemilik peralatan di sepanjang selat kritis, seperti Selat Malaka bisa diintegrasikan.
Ketiga, adalah aspek kolaboratif. Hal ini lebih fokus pada status data yang dipertukarkan. Misalnya, data untuk memberantas Illegal Unregulated and Unreported Fishing (IUU) Fishing seperti jalur kapal ikan (posisi, kecepatan, heading), SIKPI (identitas pemilik, perusahaan, ukuran kapal, jenis alat tangkap, tanggal kedaluwarsa izin), basis data log book (jenis ikan, lokasi), data parameter biologi laut (klorofil, upwelling), dan data batas WPP.
Jadi pendeknya, perlu sinergi strategis yang permanen antara tiga lembaga yang selama ini menjadi pengelola utama sistem kelautan nasional, yakni KKP, TNI AL, dan Dirjen Perhubungan Laut (Hubla) Kementerian Perhubungan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.