Dugaan itu bukan tanpa alasan. Beberapa kalangan pejabat MNA di daerah sejak lama mengeluhkan keadaan perusahaan itu.
Secara pintas, penambahan pesawat yang berasal dari penyertaan modal pemerintah merupakan suatu perkembangan.
Namun, dalam operasinya, perolehan muatan (load factor) terus mengalami penurunan sejak tahun 1972.
Dikutip dari Harian Kompas, 1 Februari 2014, kinerja MNA semakin memburuk.
Hal ini bertolak belakang dengan induknya, Garuda, yang tengah berada di masa keemasannya.
Pembatalan layanan penerbangan MNA ke sejumlah tujuan diyakini merupakan puncak gunung es dari problem yang dihadapi oleh maskapai penerbangan ini.
Baca juga: Nasib Merpati Bisa Kembali Mengudara Belum Jelas
Akhirnya, Merpati Nusantara Airlines resmi berhenti beroperasi pada 1 Februari 2014 akibat masalah keuangan dan berbagai utang.
Tercatat, MNA menanggung utang sebesar 10,95 triliun.
Jumlah itu terdiri dari Rp 1,09 triliun tagihan kreditur preferen, Rp 5,99 triliun tagihan konkuren, dan 3,87 triliun tagihan separatis.
Pemberitaan Kompas.com, 14 November 2018, menyebutkan, Majelis Hakim Pengadilan Niaga Surabaya mengabulkan proposal perdamaian yang diajukan PT MNA kepada kreditornya.
Dengan adanya putusan itu, Merpati Airlines batal pailit.
"Mengabulkan permohonan PKPU PT Merpati Nusantara Airlines. Dengan syarat Merpati harus melunasi utang ke semua kreditor," kata Ketua Majelis Hakim Sigit Sutriono saat membacakan amar putusan di Pengadilan Negeri Surabaya.
Menurut Sigit, MNA mempunyai tanggungan kepada 85 kreditor konkruen.
Baca juga: Menteri BUMN Minta Bos Garuda Selamatkan Merpati Airlines
Dari semua kreditor itu, empat kreditor menolak proposal perdamaian.
Coporate Secretary PT Perusahaan Pengelola Aset (Persero) Edi Winarto menyebutkan, dengan diterimanya proposal perdamaian ini, MAN bisa kembali beroperasi.