Artikel ini adalah lanjutan dari tulisan sebelumnya. Sebelum membaca, silakan baca dulu tulisan pertama.
------------------------
KOMPAS.com - Film Joker (2019) tak sepenuhnya tepat menggambarkan pengidap gangguan jiwa. Di kehidupan nyata, gangguan jiwa tak jadi faktor utama penyebab orang melakukan kekerasan atau kejahatan.
Namun soal warga Gotham yang menjadi anarkistis, film ini mungkin menggambarkannya dengan tepat.
Apalagi, kegeraman masyarakat Gotham mengingatkan kita pada Indonesia. Aksi unjuk rasa rusuh hingga pengadilan jalanan kerap terjadi.
Bagaimana warga biasa, menjadi brutal ketika berkumpul bersama-sama?
Guru Besar Kriminologi Universitas Indonesia Muhammad Mustofa menyebut kerumunan massa atau mob bisa membuat orang tidak menjadi dirinya sendiri.
"Tingkah laku kolektif tindakannya tidak sama dengan kepribadian masing-masing pesertanya," kata Mustofa.
Mob biasanya terbentuk ketika orang yang saling berkumpul menghadapi suasana problematis. Misalnya ketika menangkap maling di jalan.
"Mereka tahu harusnya diserahkan ke penegak hukum. Namun mereka khawatir jangan-jangan proses hukumnya tidak memuaskan perasaan keadilan masyarakat. Oleh karena itu lebih baik hukum ditegakkan sendiri," ujar Mustofa.
Selain karena pengaruh massa, perilaku kekerasan bisa muncul karena hal-hal negatif yang terpendam dalam diri.
Tidak ada manusia yang benar-benar baik dan benar-benar jahat. Percaya atau tidak, di dalam diri setiap kita ada sisi buruk.
Pikiran-pikiran jahat yang sering terlintas, muncul dari sisi itu. Tokoh psikologi Carl Gustav Jung menyebutnya sebagai shadow.
Dalam Four Archetypes (1972), Jung meyakini elemen mental manusia terdiri dari lapisan-lapisan. Lapisan pertama yakni persona adalah sisi terluar yang ditampilkan ke orang lain.
Di bawahnya, ada anima atau animus. Ini elemen maskulin dan feminin dalam setiap individu untuk memahami sifat lawan jenis dan bertahan hidup.