Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ketika Dinasti Politik Semakin Menguat...

Kompas.com - 06/10/2019, 07:30 WIB
Dandy Bayu Bramasta,
Sari Hardiyanto

Tim Redaksi

"Meskipun profesional representation, tapi dengan open list atau daftar terbuka, kemudian perolehan suara terbanyak, sehingga orang memilih cenderung berdasarkan figur, sama halnya dengan sistem yang berlaku di pilkada atau pilpres kemarin," ungkap dia.

Baca juga: Mereka yang Tergiur Surga Politik, dari Artis, Anak Pejabat hingga Jubir Istana

Politik uang

Oleh karena figur serta ketokohan yang kuat, menurut dia, maka yang muncul hanya dari tokoh-tokoh lokal, entah di birokrasi atau politisi yang menjadi pemimpin daerah.

"Ketika itu berhubungan dengan anaknya, lalu anaknya menjadi caleg, maka anaknya itu sudah pasti yang pemahaman dan pengetahuan politik dan juga jejaring politiknya belum besar, mau tidak mau ya dapat support yang signifikan dri orangtuanya," kata dia lagi.

Aditya juga tak menampik faktor lain yang menjadi andil adalah karena faktor politik uang.

Namun, hal itu tetap harus diperhatikan lagi apakah dinasti atau keluarganya melakukan hal yang sama atau tidak.

"Mungkin saja begitu, walaupun hal itu sulit untuk dibuktikan, tapi artinya bila bicara tentang politik uang, maka korelasinya apakah tokoh atau figur ini ketika memenangkan pertarungan di pilkada ataupun di pemilu legislatif menggunakan uang atau tidak, biasanya juga menggunakan politik uang," terang dia.

Namun, hal yang berbeda justru diungkapkan oleh pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada Kuskridho Ambardi.

Menurutnya, tak masalah bila dalam satu keluarga ada yang menjadi caleg atau pemimpin daerah.

"Satu keluarga sebenarnya tak masalah. Di negara lain juga ada dinasti. Yang penting, kriteria pengalaman dan prestasi tetap yang utama," ujar Kuskridho Ambardi, yang biasa disapa Dody saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (5/10/2019).

Lebih lanjut, dia mengungkapkan bila calon tersebut berpengalaman dan berprestasi tidak ada salahnya.

Hanya saja, menurut dia, di Indonesia seringkali hubungan keluarga mengalahkan kriteria prestasi.

Saat disinggung mengapa calon yang berasal dari satu keluarga yang sama tetap saja terpilih, ia menjelaskan beberapa alasan.

"Sering, situasinya, pemilih tak punya informasi tentang prestasi itu. Mereka hanya tahu dari massifnya kampanye. Di situ pemilih tak memiliki info komplit tentang kandidat," lanjut dia.

Jadi, menurut dia, yang berkampanye lebih banyak kemudian dikenal lebih banyak oleh pemilih. Kans kemenangan mereka meningkat di situ.

Tentu saja, meningkatnya jumlah kampanye seiring dengan dengan meningkatnya juga uang yang dikeluarkan.

Baca juga: Seni Perlawanan Anak Muda di Balik Poster Lucu Pendemo

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com