KOMPAS.com - Pecahnya kerusuhan di Wamena, Papua, akibat aksi unjuk rasa pada Senin (23/9/2019) kemarin menimbulkan korban jiwa.
Perkembangan terbaru, menyebutkan, sebanyak 21 orang tewas dan 65 orang terluka atas insiden ini.
Baca juga: Korban Tewas Kerusuhan Wamena Bertambah Jadi 21 Orang
Menurut pihak kepolisian, aksi massa yang berujung tindakan anarkistis ini dipicu hoaks isu rasisme seorang guru kepada muridnya.
Kabar tersebut meluas dan terjadi aksi unjuk rasa pelajar di Kota Wamena.
Siswa SMA PGRI dan masyarakat berjumlah 200 orang menuju salah satu sekolah di Kota Wamena, Jayapura.
Jumlah demonstran ini pun terpecah menjadi tiga titik, yaitu kantor bupati, perempatan Homhom, dan sepanjang Jalan Sudirman.
Massa bertindak anarkistis dengan membakar rumah warga, kantor pemerintahan, kantor PLN, dan sejumlah kios masyarakat.
Aparat telah berupaya membuat para demonstran mundur. Namun, pendemo terus bertahan dan bertambah anarkistis.
Suasana semakin mencekam lantaran terdengar suara tembakan di mana-mana yang berlangsung sekitar 3 jam.
Baca juga: Kerusuhan Pecah di Wamena, Bangunan Dibakar dan Rentetan Suara Tembakan Terdengar
Masyarakat yang rumahnya dibakar dan merasa takut adanya kerusuhan susulan memilih mengungsi.
Ribuan warga mengamankan diri di Kantor Markas Polres dan Markas Kodim 1702 Jayawijaya.
Warga yang mengungsi mengaku mulai kekurangan bahan pangan karena toko-toko tutup.
Salah satu warga yang mengungsi, Jenab Napitulu, mengatakan, rumahnya habis dibakar.
Kemudian, ia bersama keluarganya mengungsi ke rumah salah satu anggota polisi.
Menurut dia, selain kekurangan makanan karena toko bahan makanan tutup, warga juga membutuhkan baju dan tenda untuk menginap.