KOMPAS.com – Tepat 10 tahun lalu, 2 September 2009, gempa bermagnitudo 7,3 mengguncang sebagian besar wilayah Pulau Jawa bagian Barat pada pukul 14.55 WIB.
Gempa tektonik itu berpusat di Tasikmalaya, Jawa Barat.
Namun, efeknya terasa hingga ke Ibu Kota DKI Jakarta yang berjarak 244 kilometer dari episentrum gempa.
Sebagai pusat pemerintahan, bisnis, dan beragam kegiatan jasa, Jakarta penuh dengan gedung-gedung pencakar langit yang sibuk dengan berbagai kegiatan perkantoran di dalamnya.
Ketika gempa berlangsung kurang lebih selama satu menit, gedung-gedung tinggi itu terasa bergoyang hingga membuat siapa pun yang ada di dalamnya panik ingin menyelamatkan diri.
Apalagi, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sempat mengeluarkan peringatan dini tsunami, mengingat pusat gempa ada di tengah lautan.
Namun, peringatan dini itu kemudian dicabut setelah gempa diketahui melemah.
Dari pemberitaan Harian Kompas edisi 3 September 2009, diketahui banyak aktivitas yang tengah dilakukan di dalam gedung terhenti sejenak karena guncangan gempa cukup keras turut dirasakan.
Sebagaimana menjadi standar keamanan di setiap gedung bertingkat, lift tidak boleh digunakan saat terjadi situasi darurat seperti gempa bumi.
Para penghuni gedung mau tidak mau harus menggunakan tangga darurat untuk mencapai lantai 1 dan menemukan titik aman.
Tidak akan menjadi masalah besar jika hanya 1 atau 2 lantai yang harus dituruni.
Akan tetapi, bagaimana jika orang-orang ini terjebak di ketinggian di lantai 20-an atau lebih?
Beberapa orang dilaporkan pingsan karena hal ini.
Sebagian ada yang pingsan karena rasa takut dan panik yang luar biasa, sementara yang lainnya pingsan karena kelelahan menuruni anak tangga.
Bahkan, ada juga yang terluka karena terinjak-injak saat berebut ruang di tangga darurat.