Permintaan maaf dari pemerintah juga harus dilakukan sebagai pengakuan atas kegagalan negara dan langkah awal komitmen berbenah.
Pelaku kekerasan--aparat keamanan, ormas, dan pihak-pihak terkait--harus secara langsung mengakui kesalahan fatal yang mereka lakukan, selain juga meminta maaf.
Penertiban perilaku koersif dan penggunaan kekerasan juga harus segera dilakukan. Kepolisian harus menindak tegas aparat yang terlibat dalam kekerasan serta ormas sebagai preseden pengurangan tindakan represif sekaligus memastikan tindakan tidak akan terulang (guarantees of non-repetition) di masa depan.
Selain itu, pemerintah harus mengondisikan agar kekerasan tidak menjalar lebih jauh dan situasi di Papua menjadi kondusif.
Upaya yang dapat dirintis sedini mungkin adalah memulai dialog holistik antara pemerintah pusat dan Papua.
Dialog ini mencakup rencana pembangunan yang tidak terbatas pada infrastruktur fisik, tetapi berpusat pada manusia dengan menerapkan perspektif HAM.
Pembukaan dialog tidak bisa hanya berada pada tataran elite politik pemerintah daerah, tetapi juga melibatkan masyarakat untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan mengingat maraknya praktik korupsi yang terjadi di Papua.
Tentu saja, dialog yang dilakukan harus mengedepankan pendekatan sipil, bukan pendekatan keamanan yang terbukti rawan kekerasan seperti di masa lalu.
Dengan membuka dialog dan mendengarkan aspirasi semua pihak, konflik diharapkan bisa berakhir.
Konflik di Papua yang melibatkan kekerasan dimulai sejak dekolonisasi ketika pemerintah kolonial Belanda beranjak dari Papua dan Indonesia mulai menapakkan kekuatan melalui militer di sana.
Rasialisme dan stigmatisasi terhadap masyarakat Papua menyebabkan dehumanisasi yang melanggengkan sikap negatif dan perseteruan.
Masyarakat Papua menghadapi rasialisme dan stigmatisasi di Indonesia dengan pandangan bahwa mereka "setengah binatang".
Pandangan ini tampak pada sebutan "monyet" yang ditujukan kepada mahasiswa Papua dalam insiden di Surabaya baru-baru ini.
Menyebut masyarakat Papua dengan binatang merupakan bentuk dehumanisasi; martabat masyarakat Papua sebagai manusia yang harus dijaga dan dihormati oleh sesama tidak digubris.
Pandangan ini kemudian menjadi pembenaran atas tindak kekerasan terhadap masyarakat Papua. Kekerasan telah hadir dalam sejarah panjang Papua dan menjadi salah satu sumber konflik.