Bahkan pada saat itu tank, meriam, dan persenjataan artileri dihadapkan ke arah Istana Merdeka.
Namun, bukan sebagai bentuk perlawanan, melainkan hanya meminta tuntutannya bisa dikabulkan oleh Presiden Soekarno.
Awal mula kejadian
Dikutip dari Kompas.com (17/10/2018), latar belakang terjadinya peristiwa 17 Oktober 1952 tersebut yakni tertundanya pemilihan umum (pemilu) yang dianggap sebagai strategi Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS) untuk mempertahankan kedudukan mereka di tengah kondisi politik yang tidak stabil pada saat itu.
Kondisi ini semakin diperparah dengan adanya sejumlah pejabat yang melakukan tindak pidana korupsi dan lainnya yang merugikan negara.
Sementara itu, banyak juga anggota militer yang menjadi pimpinan politik yang membuat KSAD Kolonel AH Nasution dan Kepala Staf Angkatan Perang Mayjen TB Simatupang ingin mengembalikan tentara sesuai fungsinya.
Situasi tersebut mendapat respons tak baik oleh Kolonel Bambang Supeno. Supeno saat itu tak sependapat dengan AH Nasution dan bahkan menganggap kinerjanya tak baik.
Akhirnya, Supeno mengirimkan surat ke parlemen karena merasa tak puas dengan kepemimpinan AH Nasution.
Sehingga, internal militer pun terpecah menjadi dua pandangan dan DPRS ikut andil dalam masalah ini.
DPRS kemudian membuat sejumlah mosi untuk menyikapi masalah internal yang terjadi. Mosi itu menjadi sebuah persoalan baru karena dianggap terlalu mengintervensi terhadap masalah internal TNI.
Keadaan politik yang tidak stabil itu juga membuat rakyat geram dan menginginkan agar pemilu dipercepat sehingga anggota parlemen dapat segera diganti.
Melakukan unjuk rasa di Istana Merdeka
DPRS yang terlalu mengintervensi TNI AD itu membuat AH Nasution dan perwira militer lain meluapkan ketidakpuasannya dengan melakukan unjuk rasa.
Pada 17 Oktober 1952, para perwira militer bersama 30.000 demonstran melakukan unjuk rasa di Istana Merdeka, tempat tinggal Presiden Soekarno.
Tank, meriam, dan persenjataan artileri bahkan dihadapkan menuju ke Istana Merdeka.
Namun, hal tersebut bukan untuk melakukan perlawanan, mereka hanya meminta parlemen dibubarkan dan konflik dalam tubuh militer segera diakhiri.
Sebab, menurutnya ia bukanlah diktator yang bisa dengan bebas melakukan atau memutuskan apa pun begitu saja.
Soekarno membutuhkan pertimbangan dari berbagai pihak untuk menanggapi usulan yang disampaikan para demonstran.
Lantas demonstran sekejap menerima apa yang dikatakan Soekarno dan segera membubarkan diri.
AH Nasution mengundurkan diri
Dilansir dari Harian Kompas (12/2/1994), Kolonel AH Nasution kemudian mengundurkan diri dari jabatannya sebagai KSAD setelah permasalahan di internal militer makin parah.
Hal itu tanpa alasan, ia merasa bersalah dari apa yang saat itu sedang terjadi serta demi kebaikan perkembangan negara dan TNI selanjutnya. Sehingga, ia mengalah dengan melepaskan jabatannya itu.
Setelah itu, sempat ada tiga kolonel Bambang yang memimpin TNI AD pengganti AH Nasution, yakni Bambang Supeno, Bambang Sugeng, dan Bambang Utoyo.
Namun, kepemimpinan tiga Bambang itu tidak memuaskan Presiden Soekarno.
Nasution kembali jadi KSAD
Masalah makin meruncing dan menjalar ke dalam internal militer secara menyeluruh yang membuat adanya "Piagam Keutuhan AD".
Perselisihan di kalangan militer terutama TNI AD dianggap selesai setelah adanya Piagam Keutuhan AD sebagai hasil pertemuan di Yogyakarta pada 25 Februari 1955.
Setelah adanya Piagam Keutuhan AD, AH Nasution kembali memimpin TNI AD dan mengembangkan profesionalisme militer sesuai fungsinya.
(Sumber: Kompas.com/Aswab Nanda Pratama | Editor: Bayu Galih)
https://www.kompas.com/tren/read/2023/10/17/071500665/hari-ini-dalam-sejarah--peristiwa-17-oktober-1952-tank-dan-meriam-mengarah