Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Apa Itu Sumbu Filosofi Yogyakarta yang Diusulkan Jadi Warisan Budaya Tak Benda UNESCO?

KOMPAS.com - Sumbu Filosofi Yogyakarta diusulkan menjadi Warisan Budaya Tak Benda Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO).

Menyusul usulan tersebut, Malioboro pun akan diubah menjadi kawasan rendah emisi dalam waktu dekat.

"Kita sedang merancang Malioboro sebagai Sumbu Filosofi," ujar Sekretaris Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Beny, dikutip dari Kompas.com, Rabu (2/8/2023).

Perancangan Malioboro sebagai bagian dari Sumber Filosofi lantaran tim pengajuan telah mendapat undangan ke Riyadh, Arab Saudi pada September untuk asesmen dari 20 negara juri.

Asesmen pada bulan depan itu akan menjadi penilaian terakhir, sebelum diputuskan untuk memasukkan Sumber Filosofi sebagai warisan budaya tak benda.

Lantas, apa itu Sumber Filosofi Yogyakarta?

Sumbu Filosofi Yogyakarta adalah sebuah sumbu imajiner berbentuk garis lurus yang ditarik dari Panggung Krapyak, Keraton Yogyakarta, dan Tugu Pal Putih atau Tugu Yogyakarta.

Dikutip dari laman Kemendikbud, Sumbu Filosofi berkaitan erat dengan pembangunan Yogyakarta yang dirancang Sultan Hamengkubuwono I menggunakan landasan filosofi sangat tinggi.

Pada 13 Februari 1755, Perjanjian Giyanti membagi kekuasaan Mataram Islam kepada Pakubuwana III di Surakarta dan Pangeran Mangkubumi di Yogyakarta.

Perjanjian antara VOC dan dua wakil Kerajaan Mataram Islam tersebut berdampak pada pecahnya kerajaan, yaitu Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kesultanan Yogyakarta Hadiningrat.

Kasunanan Surakarta tetap dipimpin oleh Pakubuwono III, sedangkan Kesultanan Yogyakarta dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi dengan gelar Sri Sultan Hamengkubuwono I.

Sultan Hamengkubuwono I pun menata Kota Yogyakarta membentang arah utara ke selatan dengan membangun Keraton Yogyakarta sebagai titik pusatnya.

Konsep filosofi Islam Jawa, yaitu Memayu Hayuning Bawana dan Manunggaling Kawula lan Gusti diimplementasikan dalam tata ruang kota yang dibangun.

Sultan juga mendirikan Tugu Golong-gilig atau Tugu Pal Putih di sisi utara keraton, serta Panggung Krapyak di sisi selatan.

Jika ketiga titik tersebut ditarik garis lurus, maka akan membentuk sumbu imajiner yang dikenal sebagai Sumbu Filosofi Yogyakarta.

Dikutip dari laman Pemerintah Yogyakarta, Panggung Krapyak adalah awal dari tiga titik susunan Sumbu Filosofi, yang terdiri dari Panggung Krapyak, Keraton, dan Tugu.

Pertemuan antara wiji (benih) yang digambarkan antara Panggung Krapyak (yoni) dengan Tugu Pal Patih (lingga), melambangkan proses kelahiran manusia atau sangkaning dumadi.

Artinya, tumbuh dan berkembang menjadi manusia dewasa, berumah tangga, mengandung, hingga melahirkan anak.

Sebaliknya, dari Tugu Pal Putih menuju Keraton Yogyakarta melambangkan perjalanan hidup manusia kembali menuju sang Pencipta atau disebut paraning dumadi.

Keraton Yogyakarta yang berada di titik tengah turut menggambarkan kehidupan manusia yang telah mapan dan dewasa.

Selain itu, tempat ini juga menjadi akhir filosofi paraning dumadi, yaitu kehidupan langgeng di alam akhirat setelah kematian.

Filosofi tersebut disimbolkan melalui Lampu Kyai Wiji di Gedhong Prabayeksa yang tidak pernah padam sejak Sultan Hamengkubuwono I.

Dengan demikian, secara simbolis Sumbu Filosofi Yogyakarta melambangkan keselarasan dan keseimbangan hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, serta manusia dengan alam.

Khusus hubungan manusia dengan alam, termasuk dalam lima unsur pembentuknya, meliputi:

https://www.kompas.com/tren/read/2023/08/04/090000365/apa-itu-sumbu-filosofi-yogyakarta-yang-diusulkan-jadi-warisan-budaya-tak

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke