Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kasus Mbah Slamet dan Alasan Masih Banyak Orang Percaya dengan Dukun Pengganda Uang

KOMPAS.com - Kasus pembunuhan yang dilakukan oleh seorang dukun pengganda uang bernama Tohari (45) alias Mbah Slamet di Banjarnegara, Jawa Tengah menghebohkan publik.

Sejauh ini, sudah ada 12 mayat korban pembunuhan Mbah Slamet yang ditemukan, beberapa di antara korban adalah pasangan suami istri.

Ini menjadi catatan panjang kasus pembunuhan yang berawal dari modus penggandaan uang.

Kasus serupa yang tak kalah menghebohkan belum lama ini adalah pembunuhan yang dilakukan oleh Wowon CS.

Lantas, mengapa masyarakat masih banyak yang memercayai dukun pengganda uang?

Dilatarbelakangi tekanan ekonomi

Sosiolog Universitas Indonesia (UI) Ida Ruwaida mengatakan, kepercayaan masyarakat kepada dukun pengganda uang ini salah satunya dilatarbelakangi oleh tekanan ekonomi.

"Isu kesejahteraan, khususnya ekonomi, masih menjadi persoalan. Sebab utama tidak terlepas dari tuntutan pemenuhan berbagai kebutuhan, termasuk harapan atau mimpi menjadi orang kaya," kata Ida kepada Kompas.com, Rabu (5/4/2023).

Selain ekonomi, isu kesejahteraan ini juga ditujukan untuk mendapat pengakuan dari lingkungan sebagai orang kaya.

Menurutnya, aspek terakhir tersebut biasanya berkaitan dengan sumber kekuasaan, baik posisi tawar maupun relasi kuasanya.

Kondisi ini kemudian didukung dengan keyakinan masyarakat akan hal-hal mistis, sehingga mendasari untuk berperilaku irasional.

Ia menuturkan, korban mungkin sudah mengetahui bahwa cara yang dilakukannya itu salah.

Akan tetapi, hal itu tertutupi dengan iming-iming janji uang yang bisa berlipat ganda tanpa kerja keras.

Sementara itu, sosiolog Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Surakarta Drajat Tri Kartono menilai, kepercayaan akan dukun pengganda uang ini merupakan dampak dari modernisasi di Indonesia yang tidak radikal.

Meski semangat modernisasi dengan memompa rasionalitas terus berlangsung di bangku sekolah, tetapi masih ada tradisi-tradisi yang memang sengaja tidak dihentikan.

"Jadi konsepsi orang pintar di kita itu menjadi dua, pintar cerdas karena berilmu rasionalitas dan logika, kemudian orang 'pintar' yang dianggap mampu mengerti dunia-dunia yang tidak kasat mata," kata Drajat saat dihubungi secara terpisah, Rabu.

Menariknya, dalam dunia orang 'pintar' atau perdukunan, ada banyak spesialisasi, seperti untuk ekonomi dengan cara pesugihan dan menggandakan uang.

Bagi masyarakat tertentu, kelebihan yang ditawarkan oleh dukun ini tidak kalah dengan dunia rasionalitas.

"Ini masih tumbuh subur sehingga orang punya pilihan. Seseorang yang kesulitan mencari uang secara rasional karena dikuasai oleh kapitalis besar, maka carilah uang di orang-orang 'pintar'. Jadi, ini namanya adalah mistik entrepreneurship," jelas dia.

Sayangnya, tidak ada pihak yang mengontrol adanya praktik-praktik mistik entrepreneurship ini.

"Kalau keuangan kan ada Otoritas Jasa Keuangan (OJK), ini tidak ada otoritas jasa perdukunan," ujarnya.

Dengan kondisi ini, maka praktik-praktik perdukunan menjamur secara bebas tanpa ada yang mengendalikan.

Padahal, banyak di antara praktik-praktik tersebut berujung pada aksi kriminalitas, seperti pembunuhan, penipuan, dan pencabulan.

Selain itu, penindakan terhadap praktir dukun pengganda uang selama ini hanya dilakukan apabila terjadi kasus pidana.

"Hanya ketika karena mereka melakukan pembunuhan, ya ditangkap. Bukan karena perdukunannya, tapi pembunuhannya," kata dia.

"Ini mestinya pedukunannya ini yang diurus dan diatur. Jadi tidak boleh sembarangan, seperti dulu kita ngatur dukun pijet," lanjutnya.

https://www.kompas.com/tren/read/2023/04/06/080500765/kasus-mbah-slamet-dan-alasan-masih-banyak-orang-percaya-dengan-dukun

Terkini Lainnya

Dinilai Muluskan Jalan Kaesang, Ini Sosok Penggugat Batas Usia Calon Kepala Daerah

Dinilai Muluskan Jalan Kaesang, Ini Sosok Penggugat Batas Usia Calon Kepala Daerah

Tren
Apa Itu Skala Waktu Greenwich Mean Time (GMT)? Berikut Sejarahnya

Apa Itu Skala Waktu Greenwich Mean Time (GMT)? Berikut Sejarahnya

Tren
Gunung Semeru Hari Ini Erupsi 8 Kali, Tinggi Letusan 400 Meter

Gunung Semeru Hari Ini Erupsi 8 Kali, Tinggi Letusan 400 Meter

Tren
KAI Ancam Pelaku Pelemparan Batu ke Kereta, Bisa Dipidana Penjara Seumur Hidup

KAI Ancam Pelaku Pelemparan Batu ke Kereta, Bisa Dipidana Penjara Seumur Hidup

Tren
5 Wilayah Berpotensi Banjir Rob 1-10 Juni 2024, Mana Saja?

5 Wilayah Berpotensi Banjir Rob 1-10 Juni 2024, Mana Saja?

Tren
Mengapa Anjing Peliharaan Menjulurkan Lidah? Berikut 7 Alasan Umumnya

Mengapa Anjing Peliharaan Menjulurkan Lidah? Berikut 7 Alasan Umumnya

Tren
12 Wilayah yang Berpotensi Kekeringan pada Juni 2024

12 Wilayah yang Berpotensi Kekeringan pada Juni 2024

Tren
Alasan Pekerja yang Sudah Punya Rumah Tetap Harus Jadi Peserta Tapera

Alasan Pekerja yang Sudah Punya Rumah Tetap Harus Jadi Peserta Tapera

Tren
Cara Mengajukan Pinjaman Melalui Layanan Dana Siaga BPJS Ketenagakerjaan, Apa Syaratnya?

Cara Mengajukan Pinjaman Melalui Layanan Dana Siaga BPJS Ketenagakerjaan, Apa Syaratnya?

Tren
Viral, Video Harimau Sumatera Masuk ke Halaman Masjid di Solok, Ini Penjelasan BKSDA

Viral, Video Harimau Sumatera Masuk ke Halaman Masjid di Solok, Ini Penjelasan BKSDA

Tren
Kata 'Duit' Disebut Berasal dari Belanda dan Tertulis di Koin VOC, Ini Asal-usulnya

Kata "Duit" Disebut Berasal dari Belanda dan Tertulis di Koin VOC, Ini Asal-usulnya

Tren
Juru Bahasa Isyarat Saat Konpers Pegi Tersangka Pembunuhan Vina Disebut Palsu, Ini Kata SLBN Cicendo Bandung

Juru Bahasa Isyarat Saat Konpers Pegi Tersangka Pembunuhan Vina Disebut Palsu, Ini Kata SLBN Cicendo Bandung

Tren
Viral, Video TNI Tendang Warga di Deli Serdang, Ini Kata Kapendam

Viral, Video TNI Tendang Warga di Deli Serdang, Ini Kata Kapendam

Tren
Tips Memelihara Anjing untuk Pemula, Ini Beberapa Hal yang Perlu Anda Lakukan

Tips Memelihara Anjing untuk Pemula, Ini Beberapa Hal yang Perlu Anda Lakukan

Tren
Berlaku mulai 1 Juni 2024, Ini Cara Beli Elpiji 3 Kg Menggunakan KTP

Berlaku mulai 1 Juni 2024, Ini Cara Beli Elpiji 3 Kg Menggunakan KTP

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke