Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Stiglitz, Hattanomics, dan Antisipasi Krisis

Stiglitz pun menjadi topik pembicaraan pelaku pasar, investor, bankir, dan pemerintah skala global. Kajian Stiglitz berbasis studi-studi kasus, teori ekonomi, dan data ekonometri tentang ekonomi Asia Timur awal 1990-an. Hasilnya, kebijakan ekonomi negara-negara Asia Timur layak diadopsi oleh negara lain.

Hingga hari-hari ini, banyak ahli ekonomi di Tanah Air dan dunia, kutip alur-pikir Stiglitz, peraih anugerah Nobel Ekonomi tahun 2001 dan Ketua Council of Economic Advisers dari Presiden AS Bill Clinton tahun 1990-an.

Stiglitz (1996) mendukung kajian Bank Dunia (1993) berjudul The East Asian Miracle: Economic Growth and Public Policy. Bank Dunia (1993:2-3), misalnya, melaporkan bahwa tahun 1960 – 1985, total faktor produksi mencapai 1/3 dari pertumbuhan ekonomi Indonesia, Hong Kong, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Singapura, Taiwan, dan Thailand.

Kisah pertumbuhan ekonomi Asia Timur 1980-an hingga awal 1990-an dianggap model pertumbuhan. Yakni savings tinggi, akumulasi modal SDM (sumber daya manusia), alih-teknologi, dan “intervensi” pemerintah ke sistem ekonomi pasar.

Tahun 1985-1995, Indonesia mencatat pertumbuhan ekonomi 7,1 persen per tahun yang mengentaskan angka kemiskinan dari 60 persen penduduk miskin dari total penduduk menjadi hanya 11 persen penduduk miskin (IMF, 2003). Namun, pertumbuhan ‘the East Asian Miracle’ itu menjadi paradoks.

Ketika krisis keuangan melanda zona Asia Tenggara dan Asia Timur tahun 1997-1998. Sejumlah faktor pertumbuhan ekonomi negara-negara Asia Timur ternyata tidak tahan terhadap terpaan krisis global dan tidak sustainabel.

Stiglitz (1996) luput melihat kualitas pertumbuhan ekonomi Asia Timur saat itu. Studi kasus, teori ekonomi, dan data ekonometri gagal membaca tanda krisis keuangan di Asia Tenggara dan Asia Timur akhir 1990-an. Cerita ‘Asia Miracle’ itu pun redup.

Hari-hari ini, kita saksikan krisis sosial, ekonomi, dan lingkungan di berbagai negara. Dari markas besar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York City, Department of Economic and Social Affairs (DESA, 2022) pada 19 Mei 2022 merilis laporan keadaan dan prospek ekonomi dunia (World Economic Situation and Prospects/WESP).

Pertumbuhan ekonomi dunia merosot tahun ini dari perkiraan awal tahun 2022 sekitar 4 persen ke level 3,1 persen akibat operasi militer khusus Rusia di Ukraina sejak Februari 2022. Sekitar 6 juta pengungsi di Uni Eropa akibat perang di Ukraina, memicu nestapa sosial-ekonomi; harga komoditas dan pangan naik tajam di berbagai negara; tekanan inflasi terjadi di ekonomi negara-negara di Asia, Afrika, Eropa, dan Australia.

Rapuh impor komoditas dan pasokan pangan khususnya melanda negara-negara Afrika.

Upaya mitigasi perubahan iklim dan pemanasan global makin surut karena emisi karbondioksida naik tajam akibat lonjakan produksi bahan bakar fosil. Sekitar seperempat konsumsi energi Uni Eropa dipasok dari gas alam dan minyak asal Rusia tahun 2020.

Jedah pasokan energi fosil asal Rusia memicu syokekonomi di Uni Eropa akibat lonjakan harga energi dan tekanan inflasi. Lonjakan inflasi bakal mengurangi pendapatan riil rumah-tangga khusus di negara-negara berkembang (DESA, 2022).

Di Istana Negara, Jakarta pada 12 Agustus 2022, Presiden Joko Widodo dan pimpinan Lembaga Tinggi Negara RI membahas antisipasi krisis pangan, krisis energi, dan krisis keuangan global. Pilihan kenaikan subsidi melalui APBN guna antisipasi lonjakan harga-harga energi – Pertalite, gas, listrik, Pertamax, dan lain-lain hingga Rp 502 triliun – termasuk topik pembahasan itu.

Pada Rapat Koordinasi Nasional Pengawasan Intern Pemerintah (Rakornas PIP) Tahun 2022, di Istana Negara pada 14 Juni 2022, Joko Widodo merilis antisipasi krisis pangan, energi, tekanan inflasi, dan degradasi ekosistem global. Separuh konsumsi energi Indonesia – industri, kendaraan, dan rumah-tangga— dipasok melalui impor. Pilihan antisipasi, menurut Joko Widodo, yakni fokus tata-kelola anggaran dan belanja pemerintah pusat dan pemerintah daerah pada efisiensi, penciptaan nilai tambah, dan menghasilkan pertumbuhan ekonomi.

Stiglitz : Gerakan global koperasi

Pada 26 April 2018 di San Jose (Costarica), Joseph E Stiglitz merilis pemikiran baru tentang tata-ekonomi negara dan dunia berjudul “Coperatives and the Social Economy : Key Elements for Economic Balance”. Stiglitz melihat bahwa krisis-krisis sosial-ekonomi global sejak akhir 1990-an, menunjukkan kegagalan model ekonomi pasar- ‘American economic model’ atau para murid sekolah ekonomi Chicago Amerika Serikat, Milton Friedman, ideolog ekonomi pasar bebas sejak abad 20.

Stiglitz menyebut krisis-krisis akibat ekonomi pasar bebas atau neoliberalisme model AS yakni (1) krisis moral; (2) para pembuat keputusan hanya pikirkan risiko dan manfaat bagi kelompoknya; (3) ekonomi tanpa dasar dan penjabaran ideologi negara; (4) tanpa standar ‘sustainable-decision-making’, khususnya antisipasi dampak, risiko, efek, dan pemulihan atas kekeliruan keputusan; (5) lonjakan produktivitas tanpa distribusi keadilan sosial atau kompensasi bagi masyararakat; (6) ketimpangan pendapatan masyarakat; (7) ketimpangan kesempatan sosioekonomi bagi masyarakat, disparitas kesejahteraan dan kesehatan.

Kesimpulan Stiglitz, ekonomi pasar model AS atau neo-liberalisme telah gagal dan memicu banyak risiko bagi tiap bangsa, atau gagal-fungsi bagi kesejahteraan umum dan keadilan sosial. “The American dream is a myth!” ungkap Stiglitz (2018:14). Bahwa pasar dapat mengoreksi diri cuma isapan jempol!

Apa solusi dan antisipasi krisis-krisis akibat kegagalan ekonomi pasar tingkat negara-negara dan global? Stiglitz usulkan gerakan skala global koperasi!

Mengapa? Di berbagai negara, koperasi sangat berfungsi di sektor asuransi, pertanian, grosir, energi, industri pangan, ritel, bank, kesehatan, hingga sektor-sektor sulit bagi negara dan pasar.

Tahun 2017, koperasi di seluruh dunia memutar omset 2 trliun dollar AS. Menurut Stiglitz, hanya ekonomi koperasi dapat menerapkan keadilan sosial dan demokrasi ekonomi.

Stiglitz bukan satu-satunya ahli ekonomi kini yang sudah menyadari risiko sosial-ekonomi-lingkungan akibat model ekonomi-sosial neoliberal. Misalnya, ahli ekonomi-politik Stephanie Lee Mudge dari University of California, Berkeley (AS) merilis kajian ‘neo-liberalisme’ di Socio-Economic Review vol. 6, edisi 1 Oktober 2008. Ideologi neo-lib mudah dikenal dan program-program yakni privatisasi, liberalisasi, depolitisasi, deregulasi, dan moneterisme.

Jenis-jenis progam kebijakan ini mempreteli dan merapuhkan kekuasaan, kewenangan, dan tanggung jawab negara (pemerintah) di bidang sosial, ekonomi, lingkungan.

Apakah Stiglitz  keliru mendiagnosa akar krisis-krisis ekonomi global sejak akhir abad 20? Kita lihat kondisi Indonesia, penerapan liberalisasi sektor keuangan tahun 1980-an, tanpa rule of law. Nilai tukar rupiah/dollar AS yang semula berkisar Rp 2.250 per dollar AS melonjak mencapai Rp 15 ribu per dollar AS selama puncak-puncak krisis terburuk tahun 1997-1999.

Krisis keuangan itu disertai oleh gejolak politik nasional tahun 1998 yang berujung pada pengunduran diri Soeharto dari jabatan Presiden RI. GDP Indonesia anjlok sekitar 13,7 persen dan inflasi meroket hingga 75 persen tahun 1997.

Public debt membengkak hingga 90 persen dari GDP negara tahun 1999. Langkah penyehatan perbankan nasional melalui Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI), Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), dan paket rekapitalisasi lainnya telah menelan biaya ratusan triliun rupiah (IMF, 2003).

Akhir 1970-an, Moh. Hatta sudah membaca gejala dan tanda krisis ekonomi-politik RI tahun 1997-1998 : “Negara kita berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, tetapi politik perekonomian negara di bawah pengaruh teknokrat kita sekarang sering menyimpang dari dasar itu. Politik liberalisme sering dipakai jadi pedoman.”

Peran, tanggung jawab dan tugas sosial-ekonomi-lingkungan dari negara kian ciut dan kerdil, dan peran pasar makin masif. Retorika yang selalu digaung adalah ‘daya saing negara’ yang tidak lain dari daya-saing para pelaku pasar dengan ideologi individualisme.

Ini yang saya sebut ilusi! Karena pasar tidak steril dari korupsi. Pasar tidak mengadopsi keadilan sosial. Pasar bukan obat ketimpangan sosial-ekonomi sejak Revolusi Industri di Eropa Barat abad 19 M.

Obat jitu terhadap setiap ketimpangan sosial-ekonomi selama lebih dari 100 tahun terakhir hanya koperasi. Moh. Hatta, ketua tim penyusun Pasal 33 UUD 1945 menyatakan, Pasal 33 UUD 1945 ialah politik-ekonomi negara-bangsa Indonesia: “Axiomata kapitalisme sebagai merdeka bertindak dan merdeka bersaing, bebas orang-seorang mencari jalannya sendiri dalam perekonomian, kapitalisme yang berdasarkan laissez-faire, individualisme dan liberalisme, tidak ada sendinya dalam undang-undang dasar Negara Indonesia.”

Tugas Pemerintah Indonesia menurut alinea IV Pembukaan UUD 1945 ialah ‘melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah’. Maka indikatornya bukan ‘winlose’ di pasar bebas-global, tetapi berfungsi atau tidak berfungsinya pemerintahan negara melaksanakan tanggung jawab konstitusional bidang sosial-ekonomi-lingkungan.

Dewasa ini, pendukung ideologi neo-lib atau ekonomi pasar versi ‘american model’ menyebut sejumlah klaim. Pertama, integrasi pasar-pasar melalui program-program neo-lib ialah bagian dari globalisasi; maka ‘globalisasi’ dan ‘pasar’ adalah dua sisi pokok dan kembar dari keyakinan neolib (Steger, 2003:7). Klaim ini lahir dari kepala Herbert Spencer, Frederick Hayek, dan Milton Friedman.

Kedua, globalisasi tidak dapat dihindari dan tidak dapat diubah; Ini bisa kita dengar dari pidato Presiden AS Bill Clinton (1999) atau CEO FedEX seperti Frederich W. Smith (1999);

Ketiga, klaim neolib tentang “nobody is in charge of globalization”. Tidak ada yang harus bertanggung jawab, jika globalisasi dan pasar global gagal; Bahkan negara pun tidak; Pilihannya ialah Anda, negaramu berjuang dan bersaing, bersaing, dan bersaing!

Karena pasar bekerja ‘self-regulating’, mengurus diri sendiri, mencari keseimbangan pasokan dan permintaan. Tanpa intervensi negara. Begitu usul Robert Hormats, wakil CEO Goldman Sachs International (Hormats, 1998). Seolah-olah melalui mekanisme ‘self-regulating’, pasar global bermanfaat bagi setiap orang (‘benefit for everyone’). Begitu klaim neo-lib.

Tentu saja, neolib dengan globalisasi pasar tersebut di atas mengancam penjabaran amanat Pasal 27 dan 33 UUD 1945 yang menghendaki pelaku ekonomi adalah BUMN di bidang “cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara” dan Pasal 33 ayat (1) menghendaki “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan” yakni koperasi.

Dalam Sidang Kabinet Papurna pada 9 April 2018) di Istana Negara (Jakarta), pemerintah merilis data bahwa APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) Tahun 2019 hanya memberi kontribusi 15 persen PDB (Produk Domestik Bruto) Indonesia. Jumlah koperasi mencapai 209.488 unit dan anggota 36.443.953 orang tahun 2016 dengan Pancasila sebagai filsafat dan dasar negara serta jiwa Bangsa Indonesia. Organisasi sosial ekonomi berdasar Pancasila hanya koperasi (UU No. 25/1992 Perkoperasian).

Namun, koperasi hanya memberi kontribusi 3,9 persen PDB Indonesia. Artinya, lebih dari 80 persen struktur ekonomi Indonesia kini dikuasai oleh swasta (privat). Maka bangsa Indonesia perlu memperkuat koperasi kini dan ke depan guna antisipasi krisis bangsa bidang sosial, ekonomi, dan lingkungan berdasarkan Pancasila.

Kita tentu membaca geistlichen hintergrund dan rechtssidee para pendiri Indonesia.

“Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong-royong! Alangkah hebatnya! Negara Gotong Royong!” – Ir. Soekarno (Bahar et al., eds, 1995:263).

“Jadi Indonesia ibarat satu taman berisi pohon-pohon koperasi yang buahnya dipungut oleh rakyat yang banyak.”  – Mohammad Hatta (Hatta, 1953: 79-80).

Pasal 27 dan Pasal 33 UUD 1945, menurut Hatta adalah ketentuan yuridis politik sosial ekonomi Indonesia: “Dikuasai oleh negara tidak berarti negara sendiri menjadi penguasaha, usahawan atau ondernemer. Lebih tepat dikatakan, bahwa kekuasaan negara terdapat pada membuat peraturan guna melancarkan jalan ekonomi, peraturan yang melarang pula “penghisapan” orang yang lemah oleh orang yang bermodal. Negara mempunyai kewajiban pula, supaya penetapan Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 27 ayat 2 terlaksana, yaitu “tiap- tiap warga berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”

https://www.kompas.com/tren/read/2022/08/18/101143265/stiglitz-hattanomics-dan-antisipasi-krisis

Terkini Lainnya

Perjalanan Sashya Subono, Animator Indonesia di Balik Film Avatar, She-Hulk, dan Hawkeye

Perjalanan Sashya Subono, Animator Indonesia di Balik Film Avatar, She-Hulk, dan Hawkeye

Tren
Ramai soal Mobil Diadang Debt Collector di Yogyakarta padahal Beli 'Cash', Ini Faktanya

Ramai soal Mobil Diadang Debt Collector di Yogyakarta padahal Beli "Cash", Ini Faktanya

Tren
Pria di India Ini Memiliki Tumor Seberat 17,5 Kg, Awalnya Mengeluh Sakit Perut

Pria di India Ini Memiliki Tumor Seberat 17,5 Kg, Awalnya Mengeluh Sakit Perut

Tren
Daftar 10 Ponsel Terlaris di Dunia pada Awal 2024

Daftar 10 Ponsel Terlaris di Dunia pada Awal 2024

Tren
Ramai soal Pejabat Ajak Youtuber Korsel Mampir ke Hotel, Ini Kata Kemenhub

Ramai soal Pejabat Ajak Youtuber Korsel Mampir ke Hotel, Ini Kata Kemenhub

Tren
Beredar Penampakan Diklaim Ular Jengger Bersuara Mirip Ayam, Benarkah Ada?

Beredar Penampakan Diklaim Ular Jengger Bersuara Mirip Ayam, Benarkah Ada?

Tren
Warganet Sambat ke BI, Betapa Susahnya Bayar Pakai Uang Tunai di Jakarta

Warganet Sambat ke BI, Betapa Susahnya Bayar Pakai Uang Tunai di Jakarta

Tren
Daftar Bansos yang Cair Mei 2024, Ada PKH dan Bantuan Pangan Non-tunai

Daftar Bansos yang Cair Mei 2024, Ada PKH dan Bantuan Pangan Non-tunai

Tren
8 Catatan Prestasi Timnas Indonesia Selama Dilatih Shin Tae-yong

8 Catatan Prestasi Timnas Indonesia Selama Dilatih Shin Tae-yong

Tren
Promo Tiket Ancol Sepanjang Mei 2024, Ada Atlantis dan Sea World

Promo Tiket Ancol Sepanjang Mei 2024, Ada Atlantis dan Sea World

Tren
Viral, Video Drone Diterbangkan di Kawasan Gunung Merbabu, TNGM Buka Suara

Viral, Video Drone Diterbangkan di Kawasan Gunung Merbabu, TNGM Buka Suara

Tren
Daftar 19 Wakil Indonesia dari 9 Cabor yang Sudah Pastikan Tiket ke Olimpiade Paris 2024

Daftar 19 Wakil Indonesia dari 9 Cabor yang Sudah Pastikan Tiket ke Olimpiade Paris 2024

Tren
Warga Bandung “Menjerit” Kepanasan, BMKG Ungkap Penyebabnya

Warga Bandung “Menjerit” Kepanasan, BMKG Ungkap Penyebabnya

Tren
Medan Magnet Bumi Melemah, Picu Kemunculan Makhluk Aneh 500 Juta Tahun Lalu

Medan Magnet Bumi Melemah, Picu Kemunculan Makhluk Aneh 500 Juta Tahun Lalu

Tren
Jadwal Keberangkatan Haji 2024 dari Indonesia, Ini Cara Mengeceknya

Jadwal Keberangkatan Haji 2024 dari Indonesia, Ini Cara Mengeceknya

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke