KOMPAS.com - Amerika Serikat (AS) secara teknis masuk ke dalam jurang resesi, usai ekonomi negara ini mengalami perlambatan pertumbuhan dalam dua kuartal berturut-turut.
Hal tersebut disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam acara Dies Natalis ke-7 Politeknik Keuangan Negara (PKN) STAN, pada Jumat (29/7/2022).
"Pagi ini membaca (berita) AS negatif growth di kuartal II, technically masuk resesi," ujar Sri Mulyani, dikutip dari Kompas.com, Jumat (29/7/2022).
Tercatat, pertumbuhan ekonomis AS pada kuartal II-2022 sebesar minus 0,9 persen. Hal ini melanjutkan kontraksi pada kuartal I-2022, sebesar minus 1,6 persen.
Adapun definisi secara umum, resesi adalah penurunan perekonomian selama dua kuartal berturut-turut.
Lantas, bagaimana dampak resesi ekonomi AS terhadap Indonesia?
Dampak resesi AS terhadap Indonesia
Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, resesi AS setidaknya membawa empat dampak terhadap perekonomian Indonesia.
Dampak pertama, mengakibatkan terjadinya pelemahan nilai tukar rupiah dalam jangka menengah.
Hal ini lantaran keluarnya arus dana asing serta terjadi pelemahan harga komoditas ekspor unggulan.
"Devisa ekspor terganggu akibat melemahnya daya beli di AS sebagai mitra dagang yang berkontribusi 13 persen (dari) total ekspor non-migas," ujar Bhima saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (30/7/2022).
Kedua, inflasi pangan dan energi yang terjadi di AS dapat menular ke Indonesia. Pasalnya, menurut Bhima, sebagian pangan seperti gandum dan jagung Indonesia diperoleh dari impor.
Ia melanjutkan, jika tekanan harga bersifat persisten atau terus-menerus, maka akan mendorong terjadinya stagflasi.
Stagflasi sendiri merupakan keadaan inflasi yang sangat tinggi dan berkepanjangan. Kondisi ekonomi ini ditunjukkan dengan pertumbuhan ekonomi melemah dan angka pengangguran tinggi.
"Di mana kenaikan harga atau biaya hidup masyarakat tidak dibarengi dengan naiknya kesempatan kerja," lanjut Bhima.
Selain itu, resesi AS juga mengakibatkan kenaikan biaya bahan baku dan perlambatan konsumsi domestik maupun permintaan ekspor.
Kondisi tersebut, dapat berdampak pada Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur Indonesia yang kembali mengalami kontraksi hingga di bawah level 50.
Dampak keempat yang mungkin terjadi, yakni suku bunga akan naik secara agresif. Naiknya suku bunga ini, menurut Bhima, akan menghambat laju penyaluran kredit perbankan.
"Bagi konsumen, resesi berarti membayar bunga dan cicilan kendaraan bermotor hingga KPR (Kredit Pemilikan Rumah) akan semakin mahal," ungkap Bhima.
Masyarakat harus berhemat
Menghadapi dampak resesi AS, Bhima mengimbau masyarakat untuk berhemat dan menurunkan gaya hidup.
Pasalnya, istilah cash is the king atau uang kas adalah raja, masih berlaku dalam menghadapi resesi.
"Semakin aman likuiditas rumah tangga, maka semakin tahan terhadap kenaikan harga," ujarnya.
Jika perlu, Bhima juga menyarankan masyarakat untuk mencari pendapatan sampingan guna berjaga-jaga seiring dengan kenaikan biaya hidup.
Terlebih dengan kenaikan upah minimum yang rata-rata sangat kecil di tahun ini, mendesak masyarakat untuk dapat berpikir sekreatif mungkin agar mendapat penghasilan tambahan.
"Misalnya, suami bekerja dan mendapat gaji tetap, tapi istri bisa bantu dengan berjualan atau buka warung," imbuh Bhima.
Tak kalah penting, perlu juga mempersiapkan dana darurat minimal 10 persen dari gaji.
Menurut Bhima, hal ini berguna sebagai antisipasi jika terjadi kondisi tak diinginkan seperti Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Selain itu, inflasi dan pelemahan kurs yang mungkin terjadi, akan menyebabkan penyesuaian terhadap harga barang impor.
Untuk itu Bhima berharap, masyarakat dapat mengurangi konsumsi barang impor.
"Masyarakat juga bisa mengurangi ketergantungan terhadap barang impor khususnya pangan," ucap Bhima.
https://www.kompas.com/tren/read/2022/07/30/122500765/amerika-resesi-apa-dampaknya-terhadap-indonesia-ini-kata-pengamat