KOMPAS.com - Epidemiolog dari Griffith University Australia Dicky Budiman menegaskan, varian Omicron telah menyebar tanpa terkendali di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Oleh karena itu, pihaknya mengingatkan pentingnya testing, tracing, dan treatment (3T)
"Di semua negara, bahkan dengan kemampuan 3T lebih baik dari Indonesia menyebar tanpa terkendali, apalagi di Indonesia yang kita tahu 3T-nya tidak memadai dan pasif sehingga fakta ini tidak terhindarkan," ujar Dicky saat dihubungi Kompas.com, Senin (17/1/2022).
"Ketika kita gagal mendeteksi, kita menyimpan bom waktu. Ini akan menimbulkan masalah baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang," lanjutnya.
Sebagaimana diketahui, pemerintah melaporkan adanya penambahan 1.054 kasus Covid-19 di Indonesia dalam 24 jam terakhir pada Sabtu, 15 Januari 2022.
Angka tersebut merupakan penambahan kasus harian tertinggi setelah sekitar tiga bulan lalu laju kasus Covid-19 berada di titik terendah.
Dicky menegaskan, masalah jangka pendek yang akan timbul apabila gagal mendeteksi kasus di masyarakat tentunya yakni munculnya banyak orang yang sakit atau terinfeksi Covid-19.
Sejauh ini, imbuhnya 90 persen orang yang terinfeksi varian Omicron tidak bergejala.
Hal itu karena saat ini sudah banyak yang memiliki imunitas, baik karena vaksinasi, pernah terinfeksi, maupun sudah terinfeksi lalu melakukan vaksinasi.
Mnurutnya hal tersebut tetap berbahaya. Karena dengan gejala ringan atau tanpa gejala orang-orang bisa bebas beraktivitas.
Dampak terparah apabila kemudian menginfeksi orang-orang yang berisiko tinggi seperti lansia, komorbid, ibu hamil, dan lainnya.
"Banyak kelompok berisiko tinggi belum divaksinasi, termasuk anak-anak atau bayi atau ibu hamil. Ini yang terlihat di banyak negara. 20 persen dampaknya lebih berat pada anak karena mayoritas mereka belum divaksinasi. Kematian pada anak lebih signifikan terjadi setelah Omicron," katanya lagi.
Selain peningkatan kasus, salah satu hal yang dikhawatirkan yakni tumbangnya fasilitas kesehatan hingga kekurangan sumber daya manusia (SDM) akibat banyaknya tenaga kesehatan dan pelayan publik yang sakit atau menjalani karantina.
"Bisa kolaps. Stok makanan berkurang. Testing sulit, karena nakesnya banyak yang sakit. Dampak Omicron ini lebih besar, memang bukan pada aspek individu, tapi public health-nya dan sektor kesehatannya banyak sektor yang terganggu," ungkap Dicky.
Senada dengan Dicky, epidemiolog dari UGM Yogyakarta Bayu Satria Wiratama juga menekankan pentingnya respons sistem kesehatan yang diperkuat terkait 3T (testing, tracing, dan treatment) untuk pencegahan peningkatan kasus.
Dirinya berharap Indonesia tidak perlu sampai melakukan peningkatan level PPKM karena kasus-kasusnya dapat ditekan dengan 3T yang bagus.
"Selain itu edukasi 5M juga kembali diperketat dan akses ke ruang publik sebaiknya diperketat dengan meningkatkan kedisiplinan penggunaan PeduliLindungi," ujarnya terpisah kepada Kompas.com, Senin (17/1/2022).
Bayu mengatakan, tanda varian Omicron telah menyebar justru adalah saat muncul kasus transmisi lokal.
"Sebenarnya salah satu tandanya adalah adanya kasus transmisi lokal yang tidak berhubungan dengan PPLN (Pelaku Perjalanan Luar Negeri) dan itu sudah terjadi beberapa hari lalu," kat dia.
Bayu mengungkapkan, kemungkinan besar ketika pertama kali Omicron terdeteksi itu sudah masuk transmisi lokal. Akan tetapi, saat itu pemerintah tidak bisa membuktikannya.
Selain itu, menurutnya peningkatan kasus tidak hanya dipicu oleh varian Omicron semata. Tetapi juga mobilitas yang terjadi, hingga kedisiplinan masyarakat terkait 5M.
Yaitu mencuci tangan, memakai masker, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, serta mengurangi mobilitas.
(Sumber: Kompas.com/Nur Fitriatus Shalihah | Editor: Rendika Ferri Kurniawan)
https://www.kompas.com/tren/read/2022/01/18/063000265/analisis-epidemiolog-soal-penyebaran-varian-omicron-di-indonesia