Namun setelah mulai merambah lalu merajalela di Indonesia, barulah saya sadar bukan virus biasa, tetapi virus luar biasa yang disebut sebagai Corona.
Nama
Setelah tanpa bisa membuktikan ada-tidaknya virus, saya membiasakan diri dengan pagebluk virus yang disebut Corona, mendadak Presiden Amerika Serikat saat itu, Donald Trump, bilang bahwa virus jahanam itu berasal dari Wuhan, China.
Maka virus itu disebut sebagai virus China.
Nama bikinan Donald Trump ditolak keras oleh Xi Yinping dengan tudingan bahwa virus mulai merajalela di Wuhan setelah dibawa oleh anggota militer Amerika Serikat ke China ketika ikut serta olimpiade militer di China.
Maka sang virus lebih pantas disebut sebagai virus Amerika Serikat.
Sebenarnya saya berusaha tetap bertahan pada sebutan virus Corona, meski para ilmuwan biomolekular menyatakan virus Corona telah nemutasikan diri sebagai varian baru, yang disebut sebagai Covid dengan embel-embel angka 19 di belakangnya.
Meski WHO mengganti nama Corona menjadi Covid-19, namun saya sudah terlanjur nyaman dengan sebutan Corona ketimbang Covid-19.
Seperti saya sudah terlanjur nyaman dengan sebutan China ketimbang Tionghoa atau Tiongkok.
Menjelang akhir tahun 2021, mendadak muncul gelombang ke tiga atau entah ke berapa pagebluk baru.
Konon berasal bukan dari China, tetapi Afrika lalu merambah ke Eropa. Kemudian memperoleh gelar nama yang dianggap lebih keren ketimbang Covid-19, apalagi Corona, yaitu Delta.
Bahkan kemudian menyusul Omicron.
Ternyata virus tidak mau ketinggalan latah gerakan ganti nama seperti gerakan ganti nama jenis ponsel.
Preventif dan promotif
Secara bingungologis, saya tidak ingin menghanyutkan diri ke pergantian nama virus yang membingungkan akibat terus menerus berubah namanya.
Saya yang lemot-pikir kewalahan dalam berupaya mengikutinya.
Maka saya lebih berupaya menghayati hikmah makna di balik kemelut pagebluk virus yang asyik menggerogoti saluran pernafasan manusia sejak awal tahun 2020.
Beberapa hikmah dapat disimpulkan dari pagebluk virus, yang namanya terus berganti-ganti itu, antara lain terbukti pencegahan tetap lebih bagus ketimbang pengobatan.
Pagebluk Corona membenarkan WHO bahwa paradigma pelayanan kesehatan planet bumi abad XXI lebih utama preventif dan promotif ketimbang kuratif.
Lebih bijak umat manusia menjaga kesehatan masing-masing agar tidak terkena penyakit yang belum terderita ketimbang sibuk menyembuhkan penyakit yang sudah terlanjur terderita.
Maka menggunakan masker, menghindari kerumunan, jaga jarak sosial, menjaga kesehatan dengan jamu, vitamin, vaksin dan gaya hidup sak madyo sambil tetap menunaikan jihad al nafs menaklukkan hawa nafsu diri sendiri dengan pedoman kearifan ojo dumeh .
Pedoman kearifan ojo dumeh menjadi utama demi eling lan waspodo, jangan sampai ada insan manusia termasuk Jo Biden, Xi Yinping, Vladimir Putin, Angela Merkel, Boris Johnson, Fumio Khisida, Lee Hsien Loong, Joko Widodo serta Anda, apalagi saya, dumeh alias terkebur.
Merasa diri mampu menaklukkan pagebluk Corona, Covid-19, Delta, Omnicorn atau entah apa pun namanya.
Mulai dari termiskin sampai terkaya, presiden sampai ke rakyat jelata semua sama saja potensial dimangsa oleh virus Corona.
Pada hakikatnya pagebluk, entah apa pun namanya, menyadarkan segenap insan manusia bahwa di atas langit masih ada langit.
Maka di atas kekuasaan manusia yang merasa paling berkuasa, masih ada kekuasaan yang lebih berkuasa, yaitu kekuasaan Yang Maha Kuasa. Amin.
https://www.kompas.com/tren/read/2021/12/05/145903265/setelah-omicron-apa-lagi