Ada perbedaan sudut pandang mengenai PPKS yang dijabarkan dalam 9 bab dan 58 pasal ini.
Terlepas dari perbedaan sudut pandang, kekerasan seksual memang nyata terjadi bahkan di lingkungan perguruan tinggi.
Permendikbud ini dibuat agar ada regulasi yang mengatur mengenai PPKS di lingkungan kampus.
6 poin isi Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021
1. Definisi dan ruang lingkup kekerasan seksual
Pada pasal pertama PPKS menjelaskan definisi dari kekerasan seksual.
Menurut PPKS, kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan tinggi dengan aman dan optimal.
Tindakan ini, sebagaimana disebut dalam Pasal 5, mencakup tindakan yang dilakukan secara verbal, nonfisik, fisik, dan/atau melalui teknologi informasi dan komunikasi.
Pada Pasal 5 ini, rincian mengenai tindakan kekerasan seksual yang harus dicegah di lingkungan perguruan tinggi.
2. Pasal 5 yang jadi perdebatan
Pasal 5 Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 kerap menjadi sorotan karena menuai perdebatan.
Salah satu poin yang diperdebatkan adalah frasa "persetujuan korban" atau consent.
Misalnya, pada ayat 2 berikut:
Poin-poin tersebut dianggap melegalkan zina. Namun, anggapan ini dibantah Pelaksana tugas Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Nizam.
Menurut Nizam, anggapan tersebut timbul karena kesalahan persepsi atau sudut pandang. Adapun fokus dari Permendikbud ini adalah mengenai pencegahan.
"Tidak ada satu pun kata dalam Permen PPKS ini yang menunjukkan bahwa Kemendikbudristek memperbolehkan perzinaan. Tajuk diawal Permendikbudristek ini adalah ‘pencegahan', bukan ‘pelegalan'” kata Nizam dalam keterangan tertulis, 8 November 2021.
3. Fasilitas perlindungan dan pemulihan korban
Salah satu bagian penting dalam PPKS adalah perlindungan dan pemulihan korban.
Adapun perlindungan korban diatur dalam Pasal 12. Perlindungan yang dimaksud antara lain jaminan keberlanjutan studi atau pekerjaan, pelindungan dari ancaman fisik dan nonfisik, kerahasiaan identitas, adanya hak dan pelindungan dari aparat penegak hukum, pelindungan korban dari tuntutan pidana, penyediaan rumah aman, dan jaminan aman bagi saksi.
Sementara, pada Pasal 20, diatur mengenai pemulihan bagi korban kekerasan dan pelecehan seksual.
Adapun pemulian yang diberikan berupa:
Pemulihan ini bisa melibatkan pihak terkait, seperti dokter, tenaga kesehatan, psikolog, konselor, tokoh masyarakat, pemuka agama, atua pendamping lain sesuai kebutuhan korban, termasuk bagi penyandang disabilitas.
Dalam Pasal 47, perguruan tinggi wajib memberikan fasilitas pemulihan, berupa:
Perguruan tinggi juga perlu kerja sama dengan pihak terkait untuk pemulihan korban. Pemberian fasilitas ini bisa diberikan dengan persetujuan korban.
Sebelumnya, pada Pasal 44, juga disebut ada perlindungan dan pendampingan bagi saksi ketika terbukti adanya tindak kekerasan seksual.
Diatur juga mekanisme pemulihan nama baik bagi terlapor yang terbukti tidak melakukan kekerasan seksual.
4. Tindakan pencegahan
Tindakan pencegahan menjadi poin utama dalam PPKS. Pencegahan dilakukan agar tidak ada keberulangan tindakan pelecehan dan kekerasan seksual di kampus.
Pada Pasal 49, diatur mengenai bagaimana tindakan pencegahan kekerasan seksual di perguruan tinggi.
Salah satunya dengan memberikan pembelajaran, penguatan tata kelola, serta penguatan budaya komunitas.
5. Sanksi
Ada berbagai macam sanksi yang diberikan kepada pelaku kekerasan seksual, baik teguran tertulis, sanksi administratif, pemberhentian tetap, hingga pidana.
Macam-macam sanksi ini diberikan sesuai dengan mekanisme dan ketentuan perundang-undangan, dan diatur dalam pasal 13-19.
Sementara, perguruan tinggi yang tidak menerapkan PPKS akan dikenai sanks administratif berupa penghentian bantuan keuangan atau bantuan sarana, prasarana, dan penurunan tingkat akreditasi. Misalnya, seperti disebut Pasal 19.
Disebut dalam Pasal 42, selama proses pemeriksaan, perguruan tinggi bisa memberhentikan sementara hak pendidikan atau hak pekerjaan terlapor.
6. Kewajiban bagi perguruan tinggi
Kewajiban bagi perguruan tinggi diatur dalam Pasal 54 dan 57.
Pada Pasal 54 disebutkan bahwa pimpinan perguruan tinggi wajib memantau dan mengevaluasi penerapan PPKS di lingkungannya, yang dilaksanakan oleh satuan tugas.
Laporan ini disampaikan kepada menteri melalui unit kerja di kementerian, minimal 6 bulan sekali.
Jika tidak melaksanakan kewajiban itu, akan ada teguran tertulis bahkan sanksi pemberhentian jabatan bagi pimpinan perguruan tinggi.
Pada Pasal 57, diatur mengenai kewajiban bagi perguruan tinggi setelah Permendikbud Ristek ini disahkan.
Kewajiban tersebut adalah membentuk satuan tugas yang khusus menangani PPKS dan harus menyesuaikan peraturan ini di perguruan tinggi masing-masing.
Untuk melihat secara lengkap isi dari Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021, bisa diunduh di sini.
https://www.kompas.com/tren/read/2021/11/14/154500065/6-poin-isi-permendikbud-nomor-30-tahun-2021