Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Belajar Arti Kehidupan dari Karya Sastra

BACALAH karya sastra sebanyak-banyaknya maka kita akan peka terhadap kehidupan (Laurence Perrine,1956), memperkaya pengetahuan, memahami berbagai perspektif (point of view), mendewasakan diri, serta terus berproses untuk menjadi subjek yang humanis.

Kira-kira hal itulah yang didapatkan dari kegiatan membaca karya sastra seperti puisi, novel, dan drama. Meskipun kerap dianggap sebagai kegiatan menghabiskan waktu luang, membaca sastra akan memberikan sesuatu yang lebih dari sekadar hiburan (pleasure/enjoyment).

Sastra bukan saja mengandung pesan moral dan keindahan, tetapi juga merupakan bagian penting dari sejarah peradaban manusia di manapun karena pengalaman kehidupan manusia di berbagai zaman terdokumentasi dalam karya sastra.

Singkatnya, melalui sastra kita akan belajar banyak hal seperti sejarah, pencapaian sekaligus kehancuran manusia, ketidakadilan, kompleksitas narasi, permasalahan hidup dan solusinya, hingga berbagai karakter manusia yang tidak sederhana.

Dalam buku Membaca Sastra (2002) yang ditulis oleh Melani Budianta dkk, sastra banyak digunakan sebagai sarana untuk menyampaikan pesan tentang kebenaran tertentu, meskipun bersifat fiktif dan personal, sastra juga diproduksi oleh sang pengarang untuk menggambarkan realitas sosial sebagai potret kehidupan manusia.

Melani juga menambahkan, sastra bisa menjadi sarana yang cukup efektif dalam menggulirkan kritik sosial. Misalnya, pembacaan puisi yang sering kita lihat dalam aksi demonstrasi seperti pada puisi-puisi karya W.S. Rendra dan Wiji Thukul.

Namun, kadang kritik sosial yang terkandung dalam karya sastra tidak selalu disampaikan secara langsung atau lugas, melainkan secara tersirat melalui piranti-piranti sastra seperti simbol dan ironi. Oleh karena itu, pembaca dituntut untuk memahaminya secara mendalam, kritis, dan reflektif untuk bisa menemukan kritik tersebut.

Sastra memperkaya wawasan

Selain menghibur, sastra memberikan kita pengetahuan atau wawasan dari berbagai bidang ilmu yang kadang sulit untuk dibayangkan karena kita tidak memiliki akses untuk menjangkau bidang tersebut.

Artinya, siapa pun bisa dan boleh menulis karya sastra, bukan hanya mereka yang belajar sastra secara formal di perguruan tinggi saja. Justru keragaman latar belakang penulis inilah yang menjadikan sastra kaya akan wawasan dan pengetahuan yang menjadikannya manfaat bagi pembacanya.

Dari novel-novel berjudul The Old Man and The Sea (Ernest Hemingway), The Sea Around Us (Rachel Carson), The Silent World (Jacques Cousteau) dan Moby Dick (Herman Melville), di samping menikmati keindahan ceritanya, kita juga menjadi tahu tentang kehidupan bawah laut yang selama ini mungkin terbatas kita ketahui.

Membaca novel Bulan Nararya karya Sinta Yudisia, kita mendapatkan pembelajaran tentang salah satu kondisi psikologis tertentu, skizofrenia, yang selama ini mungkin ada di sekitar kita dan dialami oleh orang-orang tertentu.

Melalui karya ini Yudisia, yang juga seorang psikolog klinis, menjelaskan kepada pembaca tentang apa itu ODS (orang dengan skizofrenia) dan penyebabnya serta bagaimana menghadapi pasien-pasien dengan pendekatan transpersonal.

Pengetahuan semacam ini sangatlah penting karena semakin luas wawasan kita tentang kondisi psikologis seseorang dan hal yang melatarbelakanginya.

Kita diajak untuk berpikir secara reflektif dan menghentikan segala prasangka dan komentar negatif tentang ODS yang disebabkan oleh keterbatasan dan ketidaktahuan kita akan kondisi tersebut.

Hal yang sama juga dilakukan oleh Dee Lestari melalui novelnya Rectoverso, Malaikat Juga Tahu (salah satu judul dari sebelas kisah dalam karya ini).

Novel ini bercerita tentang bagaimana hidup orang dengan spektrum autisme yang juga merasakan cinta dengan cara mereka yang kadang sering diabaikan dan tidak dianggap serius oleh kebanyakan orang.

Dee Lestari mengajak kita untuk peka terhadap perasaan orang berkebutuhan khusus ini.

Tidak hanya itu, sastra juga memberikan kita wawasan sejarah suatu bangsa karena sejumlah penulis kerap menjadikan sejarah sebagai inspirasi dan sumber kreativitas karya sastra.

Kendati bersifat fiksi, penulis umumnya melakukan riset untuk menghidupkan dan menguatkan gambaran cerita yang ditulisnya.

Novel-novel historikal bisa kita baca dari karya-karya maestro sastra Indonesia Pramoedya Ananta Toer seperti Bumi Manusia, Jalan Raya Pos Jalan Deandels, Panggil Aku Kartini Saja, dan masih banyak lagi.

Melalui karya-karya Pram, kita dibawa untuk mundur ke era kolonial dan membayangkan kondisi sosial masyarakat saat itu.

Keragaman perspektif dari karya sastra

Di dalam karya sastra, pengarang selalu menghadirkan berbagai problematika kehidupan manusia melalui berbagai konflik yang dialami oleh tokoh-tokohnya. Dari sini kita belajar bagaimana cara menghadapi permasalahan hidup dari berbagai perspektif dan sudut pandang.

Misalnya saja ketika kita membaca novel Calabai: Perempuan dalam Tubuh Lelaki karya Pepi Al-Bayqunie, kita diajak untuk berpikir reflektif tentang jati diri dan seksualitas manusia yang tidak sederhana.

Selama ini, isu keragaman seksualitas di Indonesia memang masih menjadi isu sensitif di masyarakat. Perbincangan terkait isu ini kerap dikaitkan dengan permasalahan moral. Tapi karya ini bicara seksualitas dari perspektif lain.

Pepi memperlihatkan bahwa keragaman seksualitas merupakan salah satu bagian kental dari kebudayaan nusantara yang tidak selalu terkait dengan persoalan moral. Seorang bissu adalah figur masyarakat Bugis yang dianggap sakral dan memiliki tugas mulia sebagai penjaga kelestarian alam dari kejahatan dan keserakahan manusia.

Contoh lainnya, kita bisa ambil dari cerpen Hanif Kureshi berjudul My Son, The Fanatic. Karya ini mengajak kita untuk berpikir secara reflektif-kritis tentang stereotip dan stigma yang melekat pada ideologi Timur maupun Barat.

Apa yang selama ini dianggap benar atau salah hanyalah sebatas persoalan perspektif yang tidak bisa kita lepaskan dari pengalaman hidup seseorang.

Mempelajari karakter manusia 

Kendati fiktif, tokoh-tokoh yang disajikan dalam karya sastra memungkinkan untuk belajar tentang sifat atau karakter manusia.

Untuk menciptakan kedekatan dengan pembaca, pengarang biasanya merepresentasikan ulang berbagai karakter manusia yang lazim kita temukan dalam kehidupan sehari-hari.

Tidak hanya itu, melalui penggambaran tokoh-tokohnya kita juga diajak untuk melihat dinamika karakter dan kepribadian manusia karena sebenarnya manusia adalah mahluk yang kompleks, tidak sederhana dan selalu terus berproses.

Karakter manusia tidak hanya sebatas baik-jahat, melainkan kompleks dan tidak bisa dilepaskan dari peristiwa yang dialaminya serta karakter-karakter lain yang turut membentuk kepribadiannya.

Misalnya novel historikal berjudul Pangeran dari Timur karya Iksaka Banu dan Kurnia Effendi yang bercerita tentang pelukis Raden Saleh yang selama ini nyaris dikenal publik sebagai sosok tanpa cela.

Di Novel ini pengarang menampilkan dua karakter Raden Saleh yang saling bertolak belakang, yaitu sebagai sosok sempurna dan orang yang nakal.

Oleh karena itu, tanpa kita sadari, sesungguhnya kita sedang belajar psikologi manusia secara praktis dari kegiatan membaca sastra.

Hal ini tentunya dapat kita jadikan rujukan untuk mengenal, memahami, menilai, dan menghadapi orang lain dengan berbagai karakter.

https://www.kompas.com/tren/read/2021/10/19/112520265/belajar-arti-kehidupan-dari-karya-sastra

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke