Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Pandemi Covid-19, Kematian Necropolitics dan Harapan Baru

DI ruang ICU sebuah rumah sakit, ada 5 pasien covid 19. Mereka adalah direktur bank, dokter, mahasiswa, menteri dan seorang pengangguran.

Saturasi oksigen kelimanya di bawah 85. Semuanya memiliki komorbid. Sayangnya, cadangan oksigen hanya cukup untuk empat orang. Siapa yang akan mendapatkan oksigen?

Jawab atas pertanyaan tersebut mencerminkan siapa yang hidupnya dianggap lebih berharga. Jika situasi tersebut ditarik dalam kehidupan yang lebih luas, kebijakan yang diambil pemerintah tidak selalu untuk seluruh rakyat.

Sebab, kepentingan dan aspirasi rakyat beragam. Pemerintah tidak mungkin memenuhi semuanya. Pemerintah perlu memilih, kelompok mana yang mendapat prioritas untuk dilindungi dan diperhatikan.

Karena ada kelompok yang diprioritaskan, ada kelompok yang kurang atau tidak prioritas. Achille Mbembe, ilmuwan politik dan poskolonial asal Kamerun, memakai istilah necropolitics untuk menjelaskan hal tersebut.

Menurutnya, necropolitics adalah kuasa untuk menentukan siapa yang dianggap penting dan tidak, siapa yang perlu diprioritaskan dan tidak. Dasarnya kalkulasi untung rugi.

Di negara-negara Afrika Selatan, kebijakan lockdown sangat bias kepentingan kelas menengah.

Contohnya Zimbabwe. Sebagian besar masyarakatnya bekerja di sektor informal dan pengangguran. Mereka tidak mungkin dibatasi aktivitasnya. Sebab mereka perlu makan.

Kebijakan kerja dari rumah hanya mungkin bagi mereka yang memiliki rumah dan penghasilan bulanan.

Karena itu, kebijakan lockdown di Zimbabwe adalah necropolitics. Pemerintah menghendaki keselamatan orang tertentu dengan mengorbankan sekelompok lainnya yang lebih lemah.

Di luar ada kemungkinan politisasi, penolakan sebagian kelompok terhadap kebijakan PPKM darurat di Indonesia adalah hal yang masuk akal.

Jika pemerintah tidak memberikan uang atau kebutuhan makan kepada mereka, kebijakan PPKM tidak pernah akan berhasil. Selain itu, PPKM tanpa bantuan finansial kepada rakyat miskin hanya akan mematikan mereka.

Kematian politik kematian (necropolitics)

Saat ini, semua orang menghadapi badai covid 19. Tetapi, kesiapan dan kemampuan tiap orang berbeda-beda.

Di Amerika, Inggris dan Wales, orang kulit hitam yang meninggal karena covid 19 jumlahnya jauh lebih banyak dibanding orang kulit putih.

Di Amerika, jumlah penduduk kulit berwarna yang sudah divaksinasi lebih rendah dari pada orang kulit putih.

Di banyak negara, mereka yang berada dalam posisi minoritas, menjadi kelompok yang paling terdampak pandemi covid 19.

Badai Pandemi covid 19 ini menyingkap dua kenyataan penting tentang modernitas (Rutazibwa, 2020).

Pertama, modernitas gagal membawa keadilan dan kesejahteraan untuk umat manusia. Ia hanya menyejahterakan segelintir orang.

Modernitas juga memiliki ekses negatif yang menyengsarakan. Berkembangnya penyakit-penyakit menular (termasuk covid 19 ini?) adalah konsekuensi dari penghancuran ekologis seperti penebangan hutan tropis dan pencemaran lingkungan (Vidal, 2020).

Kedua, modernitas dengan segala klaim superioritasnya tidak mampu menghadapi pandemi covid 19.

Fasilitas dan sistem kesehatan negara-negara maju seperti Italia, Amerika, Inggris ternyata tidak sanggup merespons pasien Covid 19.

Berhadapan dengan virus yang tidak terlihat, tidak ada sistem kesehatan negara modern yang mampu mengatasinya secara efektif.

Kolapsnya sistem kesehatan di banyak negara juga membongkar necropolitics yang tercermin dalam anggaran negara.

Di banyak negara maju, anggaran pertahanan keamanan jauh lebih besar dari pada anggaran untuk kesehatan. Hal ini menunjukkan hasrat pemerintah untuk berperang dan mempertahankan diri dari ancaman melebihi keinginan untuk memperhatikan kesehatan warganya.

Pandemi Covid-19 dan terbukanya paradigma baru

Pandemi covid 19 benar-benar menelanjangi kedigdayaan modernitas. Sar CoV-2 menginfeksi siapa pun tanpa melihat usia, warna kulit, kelas ekonomi.

Dia juga menghancurkan ekonomi, tatanan sosial, sistem kesehatan, cara manusia beragama. Singkatnya, pandemi ini merupakan krisis. Modernitas belum bisa mengatasinya.

Dalam situasi kritis, menurut Thomas Kuhn (1962), asumsi-asumsi dasar dalam paradigma yang saat ini hidup sedang diuji. Jika asumsi-asumsi tersebut tidak relevan akan muncul asumsi baru untuk menjawab krisis.

Saat itu terjadi, muncul revolusi ilmu pengetahuan, yang identik dengan perubahaan paradigma (paradigm shift).

Menurut Kuhn, perubahaan paradigma terjadi karena masyarakat membutuhkan paradigma baru yang lebih relevan memotret realita dan mampu menjawab krisis.

Krisis karena pandemi covid 19 ini bisa saja membuka harapan baru. Lalu melahirkan paradigma baru.

Briggs dkk (2020) meneliti cara pandang masyarakat Inggris di tengah krisis karena covid. Mereka menemukan kenyataan menarik.

Covid 19 menyingkap ilusi modernitas. Asumsi modernitas tentang individualisme, materialisme, kebebasan yang selama ini diklaim memberikan kenyamanan hidup ternyata semu.

Responden mereka menjelaskan kalau pembatasan sosial menolong mereka melihat bahwa konsumerisme dan kebebasan adalah hal yang tidak mutlak.

Bersamaan dengan itu, para responden juga menemukan hal-hal berharga: solidaritas, polusi yang berkurang karena manusia tidak konsumtif, masyarakat yang lebih manusiawi karena menyadari kerapuhannya di tengah pandemi.

Jika temuan Briggs berlaku juga di sebagian besar negara dunia, itu berarti pandemi Covid juga sebuah blessing.

Sars CoV-2 bukan hanya menghancurkan kedigdayaan modernitas dan mematikan necropolitics. Ia juga membuka harapan baru: dunia pasca pandemi akan menjadi lebih baik. Sebab manusia mau menjadi manusia bagi alam dan sesamanya.

https://www.kompas.com/tren/read/2021/07/23/080557765/pandemi-covid-19-kematian-necropolitics-dan-harapan-baru

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke