KOMPAS.com - Dua hari terakhir, ramai perbincangan soal orang-orang yang terekam berebut mengambil sebuah produk susu, yang dikenal dengan susu beruang.
Produk itu diklaim dan diyakini bisa lebih cepat menyembuhkan jika dalam kondisi tak sehat, termasuk saat positif Covid-19. Hal inilah yang memicu panic buying terhadap produk tersebut.
Video kejadian di sebuah supermarket itu pun viral di media sosial.
Kejadian panic buying juga pernah terjadi saat awal kasus pandemi corona di Indonesia. Tahun lalu, masker medis yang jadi buruan.
Harganya melambung tinggi, dan barangnya susah didapatkan.
Apa yang mendorong orang-orang panic buying?
Psikolog dari Universitas Indonesia (UI) Rose Mini Adi Prianto mengatakan, hal yang memicu seseorang melakukan panic buying karena adanya rasa cemas dan ketakutan.
"Mereka takut kalau mereka enggak beli produk itu sekarang, maka besoknya tidak kebagian lagi, tidak ada stok lagi," ujar Rommy saat dihubungi Kompas.com, Minggu (4/7/2021).
Menurut dia, kecemasan dan ketakutan itu ada karena iklan yang mencanangkan harus jaga daya tahan tubuh, harus makan makanan yang bergizi, dan konsumsi multivitamin.
Rommy mengatakan, jika semua orang berperilaku wajar, fenomena ini mungkin tidak akan terjadi.
Tak akan ada perilaku panic buying yang dampaknya juga tak baik bagi perekonomian.
"Jadi kayaknya semua orang seperti menyetok di rumah dan itu yang berdampak pada orang lain, enggak bisa dapet karena produsennya sudah ada kecepatan tertentu untuk memproduksi susu itu," ujar Rommy.
Akibatnya, harga susu tersebut menjadi melonjak.
"Harga naik itu dipengaruhi karena tidak nalar jadi emotionally buying," lanjut dia.
Benahi kecemasan
Karena panic buying bersumber dari munculnya rasa ketakutan dan kecemasan, Rommy menyarankan agar orang-orang membenahi rasa cemasnya itu.
Kemudian, berupaya untuk tetap rasional.
"Jadi tidak ada pemikiran, jika tidak beli susu merek tertentu maka dunia akan berakhir atau tidak ada jalan lain," kata dia.
Rommy mengingatkan, dengan berpikir rasional, kita bisa menyadari bahwa tak hanya bergantung pada satu produk saja.
Misalnya, bisa membeli atau mengonsumsi susu dengan merek lain untuk meningkatkan daya tahan tubuh.
Sementara itu, psikolog klinis Veronica Adesla juga mengatakan, perilaku panic buying dipicu oleh kecemasan.
Dalam kasus ini, kecemasan akan sulit mendapatkan atau khawatir tidak ada barang saat membutuhkannya.
"Sulitnya barang itu merupakan akibat dari perubahan situasi kondisi yang terjadi mendorong perilaku seseorang untuk membeli barang-barang tersebut dalam jumlah besar, dengan pemikiran untuk tetap aman untuk kurun waktu tertentu," ujar Vero saat dihubungi secara terpisah, Minggu (4/7/2021).
Hal yang harus dilakukan dalam situasi seperti saat ini adalah belajar memahami kondisi.
Dengan demikian, kita bisa memperkirakan dampak yang akan terjadi ke depannya.
"Bila tidak yakin, cobalah cari info dari sumber yang terpercaya, seperti situs pemerintah dan atau kepada pihak terkait seperti RT, RW, Lurah," ujar Vero.
"Menelaah dengan lebih baik mengenai hal ini dapat membantu individu untuk menentukan prioritas dalam mengambil sikap dan keputusan secara rasional, tidak berlebihan," lanjut dia.
https://www.kompas.com/tren/read/2021/07/04/194500465/panic-buying-susu-beruang-dan-tantangan-berpikir-rasional-di-tengah-pandemi