MEDUSA. Seorang Dewi Yunani yang kepalanya ditumbuhi ular-ular. Matanya begitu mematikan karena siapa pun yang dipandangnya akan menjadi batu.
Medusa memang lebih sohor atas karakteristik penampilannya. Namun sejatinya, Medusa bukan sekadar itu. Medusa adalah tentang kemalangan seorang perempuan.
Perempuan pendeta yang diperkosa oleh Poseidon, Mahadewa Samudera, hingga hamil. Alih-alih menghukum si pelaku, Athena justru mengutuk korban menjadi “monster” mengerikan karena dianggap telah menodai kuil suci tempatnya diperkosa.
Perempuan malang itu adalah Medusa. Mitos ini mengisyaratkan hubungan antara nilai patriarki dengan kekerasan seksual. Laki-laki merasa berhak memerkosa perempuan, ditambah dengan kedudukan tinggi yang dimilikinya.
Mitos seharusnya hanyalah mitos. Mirisnya, beberapa bagian ceritanya seolah berubah jadi nyata dan relevan dengan kehidupan kita sekarang ini.
Baru saja kita mendengar kabar, seorang anak perempuan yang masih di bawah umur harus mengalami kejadian yang kita semua kutuk. Ia diperkosa seorang oknum polisi di Polsek Jailolo Selatan, Halmahera Barat, Maluku Utara.
Kasus ini membuat kita jengah. Berulang kali kita suarakan bahwa satu kasus kekerasan seksual pun tidak boleh terjadi.
Di saat kita semua sedang mengecam kasus kekerasan seksual terhadap perempuan, kasus ini datang bak hantaman ombak yang ganas.
Pertama, korban adalah perempuan di bawah umur. Kedua, pelaku adalah aparat negara. Ketiga, tempat kejadian adalah di institusi negara.
Sulit membayangkan bagaimana kasus kekerasan seksual bisa terjadi pada unsur-unsur tersebut—yang notabenenya mustahil kekerasan seksual bisa terjadi.
Kasus ini bukan satu-satunya. Dari 2008 sampai 2019, sebanyak 2.978.282 perempuan lainnya mengalami kekerasan seksual (databoks.katadata.co.id, 9 Maret 2020).
Ini baru kasus yang dilaporkan saja. Karena itu, tak berlebihan jika kita menyatakan Indonesia darurat kekerasan seksual. Menjadi perempuan di Indonesia nyatanya sulit dan tidak aman karena kasus kekerasan seksual yang tinggi.
Budaya patriarki merupakan salah satu sebab struktural mengapa kekerasan seksual terhadap perempuan masih kerap terjadi.
Patriarki disinyalir menjadi akar permasalahan kekerasan seksual terhadap perempuan. Judith Bennet menuliskan bahwa patriarki merupakan “problem utama” dalam sejarah perempuan dan bahkan merupakan problem terbesar dalam sejarah manusia (jurnalperempuan.org, 30 Desember 2014).
Cara pandang patriarki mengajarkan dan membenarkan ketimpangan relasi antara perempuan dan laki-laki. Biasanya, posisi laki-laki selalu diuntungkan dan perempuan selalu dirugikan.
Contoh yang lumrah, perempuan harus mengurusi urusan rumah—dapur, sumur, dan kasur. Sedangkan laki-laki boleh mengakses dunia luar secara bebas. Berabad-abad lamanya narasi patriarki ini dikonstruksikan dan terus diwariskan, parahnya hingga menjadi budaya yang kita hidupi selama ini.
Patriarki mensubordinasi perempuan. Subordinasi bisa dilakukan karena beberapa hal. Fisik perempuan dianggap lebih lemah, intelektualitas perempuan dianggap rendah karena lebih mengutamakan emosional, atau pelabelan-pelabelan lainnya.
Atas itu, kemudian posisi perempuan dikonstruksikan berada di bawah laki-laki. Perempuan hanya dianggap warga negara kelas dua yang tidak memiliki pengaruh dan posisi tawar yang berarti.
Dampaknya, tentu patriarki mereduksi dan menghalangi peran serta eksistensi perempuan.
Cara pandang ini membuat laki-laki merasa diri “berhak” melakukan kontrol atas tubuh perempuan. Perempuan hanya objek.
Ini menjadi “kekuatan” dan legitimasi bagi laki-laki untuk melakukan kekerasan seksual terhadap perempuan. Pemikiran itu mungkin ada di banyak laki-laki, termasuk Briptu II tersebut.
Selama ini menganggap bahwa perempuan lemah dan tidak berdaya, maka tak akan masalah melakukan kekerasan seksual terhadapnya.
Apalagi jika ditambah dengan intimidasi dan ucapan kasar, perempuan dirasa akan mencapai titik terlemahnya. Menolak pun tak akan berani, dan sia-sia pula karena tak akan digubris.
Walby (dalam jurnalperempuan.org, 30 Desember 2014) telah merumuskan hal ini. Menurutnya, budaya patriarki adalah sebuah sistem di mana laki-laki mendominasi, melakukan opresi dan eksploitasi atas perempuan.
Situasi ini membuat laki-laki bersifat dominan sehingga merasa bisa melakukan apa pun terhadap perempuan. Bahayanya, patriarki sering ditopang oleh kekerasan laki-laki terhadap perempuan.
Patriarki berkaitan erat dengan relasi kuasa, antara dominan dan subordinat. Sumber dominasi laki-laki bisa datang dari kedudukan atau jabatan tertentu yang dimilikinya. Jika statusnya tinggi, semakin mudahlah pendominasian.
Faktor ini yang membuat laki-laki merasa berhak dan memiliki wewenang untuk melakukan apa pun kepada perempuan yang statusnya dinilai lebih rendah.
Relasi kuasa ini kemudian dimanfaatkan untuk mengontrol perempuan dengan embel-embel kekuasaan yang dimilikinya. Sudah pasti, dominan adalah penekan dan subordinat adalah yang ditekan.
Poseidon sama seperti Briptu II merasa diri memiliki kedudukan lebih tinggi dibanding Medusa dan Bunga. Relasi yang timpang antara dewa dan manusia, juga aparat negara dan orang sipil.
Penyalahgunaan wewenang dengan mudah dilakukan untuk mengintimidasi mereka yang dianggap menjadi subordinat.
Kekerasan seksual terhadap perempuan sama seperti hama, harus dicabut hingga akarnya supaya tuntas. Budaya patriarki yang merugikan harus diubah dengan pola pikir yang lebih terbuka dalam memandang relasi antara perempuan dan laki-laki.
Atur ulang relasi keduanya dengan semangat kesetaraan. Laki-laki tidak dibenarkan merasa dominan hingga berhak mengontrol perempuan, perempuan pun tidak dibenarkan merasa subordinat.
Kasus kekerasan seksual adalah buah pahit dari budaya patriarki. Cukuplah cerita kekerasan seksual seperti Medusa sebagai mitos. Jangan sampai menjadi kenyataan.
Mari mengubur dalam-dalam budaya patriarki, sembari terus mengembangkan cara pikir adil dan setara dalam berbagai relasi sosial kita. Karena layaknya konstruksi, patriarki pun sesungguhnya dapat dikoreksi serta diubah. (R Graal Taliawo | Alumni S2 Sosiologi & Mahasiswa S3 Ilmu Politik, Fisip UI, Depok)
https://www.kompas.com/tren/read/2021/06/28/145827865/kasus-perkosaan-anak-di-bawah-umur-oleh-oknum-polisi-dan-efek-patriarki