Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Gelombang Baru Corona Landa Eropa dan Asia, Bagaimana dengan Indonesia?

KOMPAS.com - Dalam beberapa hari terakhir, sejumlah negara melaporkan terjadi peningkatan signifikan jumlah kasus konfirmasi positif Covid-19.

Paling mengkhawatirkan di India, di mana selama enam hari berturut-turut, negara itu melaporkan 200.000 kasus per hari.

Melansir Worldometers, pada 1 April, India mencatat total kasus aktif sebanyak 615.798, dan terus meningkat hingga pada 19 April, tercatat ada sebanyak 2.030.944 kasus aktif.

Peningkatan kasus harian dan kasus aktif Covid-19 juga terpantau terjadi di kawasan Asia Tenggara.

Filipina per 20 April mencatatkan total 953.106 kasus, dengan penambahan kasus dalam enam hari terakhir berada di kisaran 10.000.

Kemudian, Malaysia per 20 April mencatatkan total 379.473 kasus, dengan penambahan kasus dalam enam hari terakhir berada di kisaran 2.000.

Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin meminta masyarakat waspada terhadap penularan Covid-19.

Ia mengingatkan bahwa saat ini sejumlah negara di dunia tengah menghadapi pandemi Covid-19 gelombang ketiga.

"Kita melihat ada kenaikan lonjakan ketiga atau third wave yang tinggi di negara-negara di Eropa, di negara negara Asia khususnya India, Filipina, juga di Papua Nugini juga, dan juga di negara Amerika Selatan seperti Chili dan Brazil," kata Budi, seperti dilansir dari Kompas.com, Minggu (18/4/2021).

Bagaimana situasi Indonesia?

Merujuk laporan situasi terbaru yang dirilis oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 14 April 2021, Indonesia saat ini termasuk dalam kategori rawan, bersama dengan Bangladesh dan India.

Hal tersebut disampaikan oleh epidemiolog dari Griffith University, Australia, Dicky Budiman, ketika dihubungi Kompas.com, Selasa (20/4/2021).

Dicky mengatakan, berdasarkan laporan tersebut, per 13 April lalu, Indonesia mencatatkan angka kematian per 100.000 penduduk yang lebih tinggi ketimbang India.

"0,4 kita, India 0,3 per 100.000 penduduk. Artinya, situasi kita saat itu serius. Karena kematian ini indikator telat namanya," kata Dicky.

Selain itu, Dicky menyebutkan, yang membuat Indonesia harus semakin waspada adalah test positivity rate, yang sudah lebih dari setahun ini, rata-rata selalu berada di atas 10 persen.

"Ini sebenarnya menunjukkan PR kasus kita itu luar biasa banyak sekali, yang terus berkembang dengan pola eksponensial, dan tidak bisa kita hentikan," kata Dicky.

Oleh karena itu, Dicky mengatakan, Indonesia termasuk ke dalam negara yang dikategorikan sebagai community transmission (penularan komunitas).

"Itu level tertinggi dalam pengendalian pandemi, artinya terburuk," ujar Dicky.

Testing dan tracing lemah

Menilik situasi tersebut, Dicky berpendapat, tren penurunan kasus harian yang sebelumnya sempat dilaporkan Indonesia, sebenarnya tidak memiliki dasar argumentasi yang kuat.

"Karena tren penurunan kasus harian itu, tidak didukung dengan cakupan testing dan tracing yang memadai. Jangankan optimal, memadai pun tidak," kata Dicky.

"Jadi kalau bicara ada 5.000 kasus, kita tidak menemukan penguatan tracing, di mana dari 5.000 itu dikali 20 saja sudah 100.000 testing misalnya, tapi itu minimal kan," ujar dia.

Menurut Dicky, standar cakupan testing semacam itu tidak pernah terjadi atau tercapai di Indonesia dalam satu tahun ini.

"Kalau itu tidak pernah terjadi kemudian ada penurunan, di tengah test positivity rate yang tinggi, itu kan sebetulnya tanda tanya, dan itu satu hal yang serius sebetulnya," kata Dicky.

Hal tersebut masih ditambah dengan tingginya angka laporan kematian di Indonesia, yang terjadi ketika sistem pelaporan kematian masih belum memadai.

"Ini yang harus dicermati," ungkap Dicky.

Berkaca dari situasi India

Berkaca dari India yang kini tengah kewalahan menghadapi lonjakan kasus Covid-19, Dicky mengingatkan bahwa sebelumnya India sempat dianggap mampu mengendalikan pandemi.

"Tapi ternyata data yang ditampilkan tidak sesuai dengan kenyataan, yang sebenarnya jauh lebih serius dari itu," ujar Dicky.

Dia mengatakan, ketika suatu negara atau suatu wilayah berupaya mengendalikan pandemi dengan strategi yang sifatnya hanya superficial, maka ada potensi bahaya yang bisa timbul di kemudian hari.

"Ingat bahwa virus ini adalah makhluk hidup yang taat pada hukum biologi, yang diciptakan untuk dia, dan dengan pola eksponensialnya itu, pada akhirnya, karena pelonggaran yang tidak terkendali, aspek deteksi kasus yang juga tidak memadai, ditambah mobilitas dan interaksi yang luar biasa, itu akan menyebabkan ada superspreader event," kata Dicky.

Dicky mengungkapkan, superspreader event akan memicu lahirnya superstrain dari virus corona penyebab Covid-19, yang menyebabkan penularan semakin sulit dikendalikan.

"Itu adalah skenario terburuk, dan itu sudah terjadi di India. Walaupun menurut saya ini belum superstrain, tapi adalah satu strain yang sangat berdampak serius. Ini yang akhirnya meluluhlantakkan," ujar dia. 

"Indonesia bisa mengalami itu pada skenario terburuknya, dan itu tidak boleh ditantang," pungkas Dicky.

https://www.kompas.com/tren/read/2021/04/21/130000765/gelombang-baru-corona-landa-eropa-dan-asia-bagaimana-dengan-indonesia-

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke