Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Studi: Stres pada Ibu Hamil Bisa Pengaruhi Perkembangan Otak Janin

Kesimpulan ini didapat setelah peneliti melihat hasil dari dokumentasi pada pemindaian otak janin.

Janin dari ibu hamil dengan tingkat kecemasan lebih tinggi, cenderung mempunyai koneksi yang lebih lemah antara dua area otak yang terlibat dalam fungsi eksekutif dan kognitif lanjut.

Serta koneksi yang lebih kuat antara bagian-bagian otak yang terhubung dengan kontrol emosi dan perilaku.

Dampak stres pada ibu hamil

Penemuan ini memperkuat studi sebelumnya yang menemukan dampak langsung dari stres pada ibu hamil terhadap perkembangan bayinya di masa mendatang.

"Tingkat kecemasan, tampaknya mempunyai efek langsung pada cara otak janin dibentuk dan diatur dalam rahim," kata penulis studi yang memimpin Institut Pengembangan Otak di Children's National dai Washington D.C Catherine Limperopoulos seperti dikutip dari CNN Internasional, Sabtu (13/12/2020).

"Apa yang dialami ibu hamil, juga dialami bayi yang dikandungnya," lanjut dia.

Stres membuat kelenjar pituitari dan adrenal membanjiri tubuh dengan hormon yang awalnya dimaksudkan untuk membantu diri menghindari bahaya.

Zat ini mencakup hormon kortisol, yang mempunyai kemampuan melewati penghalang plasenta antara ibu dan bayi.

Hubungan antara stres dan perkembangan otak janin sangat mengganggu bagi perempuan yang hamil selama pandemi, dikarenakan penelitian sebelumnya menemukan stres pada perempuan hamil di era pandemi meningkat dua kali lipat bahkan tiga kali lipat.

"Dan ada penelitian lain yang diterbitkan mengonfirmasi bahwa wanita hamil melaporkan tingkat stres yang sangat tinggi selama pandemi," ujarnya.

Dampak stres pada anak

Penelitian sebelumnya mengaitkan antara stres, kecemasan, dan depresi pada ibu hamil dengan masalah sosial, emosional, dan perilaku pada keturunan di usia yang lebih tua.

Studi klinis telah menemukan adanya defisit neurobehavioral seperti gangguan koordinasi motorik, reaktivitas emosional yang lebih tinggi, dan keterlambatan bahasa, pada anak yang lahir dari ibu yang mengalami stres.

Limperopoulos juga menerbitkan sebuah penelitian awal tahun ini yang menemukan bahwa tingkat stres yang tinggi selama kehamilan mengganggu biokimia otak bayi dan pertumbuhan hipokampus, area otak yang terlibat dalam pembentukan ingatan baru, yang juga terkait dengan pembelajaran dan emosi.

Dalam studi sebelumnya, ditemukan pula pola elektroensefalografi yang tidak biasa di lobus frontal anak-anak, bersama dengan perubahan pada materi putih yang bertanggung jawab untuk mengatur komunikasi antara berbagai bagian otak.

Menurut sebuah penelitian yang diterbitkan pada Juli lalu, stres juga dikaitkan dengan kelahiran prematur. Wanita yang merasa kewalahan dan tidak mampu mengatasinya selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun sebelum pembuahan memiliki kehamilan yang lebih pendek daripada wanita lain.

"Setiap hari di dalam rahim penting untuk pertumbuhan dan perkembangan janin," kata penulis senior Christine Dunkel Schetter, seorang profesor psikologi dan psikiatri terkemuka yang telah meneliti topik tersebut selama bertahun-tahun di Laboratorium Proses Stres dan Kehamilan di Universitas California, Los Angeles.

Bayi prematur, lanjut dia, mempunyai risiko lebih tinggi, termasuk cacat perkembangan dan masalah kesehatan fisik.

Studi lainnya mengungkapkan, stres pada ibu, bahkan sebelum pembuahan, dapat memperpendek panjang telomere bayi, struktur DNA majemuk yang terletak di ujung kromosom, berfungsi melindungi sel dari penuaan saat berkembang biak.

Telomer yang diperpendek telah dikaitkan dengan risiko penyakit jantung, kanker, dan kematian dini yang lebih tinggi.

Stres di antara kehamilan berisiko rendah

Sementara itu, studi di JAMA Open Network lainnya menganalisis tingkat stres dari 50 wanita pada usia kehamilan antara 24-39 minggu dan dianggap berisiko rendah karena kategori sosiodemografi ibu hamil yang lebih tinggi.

Wanita-wanita profesional yang berpendidikan tinggi telah menjadi sukarelawan kelompok kontrol yang sehat dalam penelitian lebih besar tentang perkembangan otak janin. Dalam penelitian ini, tidak ada wanita yang menjalani pengobatan.

Para peneliti mengambil pemindaian otak yang sangat sensitif dari bayi yang sedang berkembang, pada hari yang sama para wanita mengisi kuesioner stres, kecemasan, dan depresi yang banyak digunakan dan divalidasi.

"Ini dianggap penelitian yang aman, tidak membahayakan ibu hamil atau janin. Mudah-mudahan selanjutnya kami dapat menggunakan teknologi semacam ini sebagai teknik pencegahan awal dalam kehamilan," ujar Limperopoulos.

Faktor lingkungan

Ia menuturkan, studi tersebut mengikuti ibu dan bayi, hingga anak-anak berusia 18 bulan untuk melihat keterkaitan efek selama kehamilan dimodifikasi oleh faktor lingkungan.

Hal penting yang diambil dari penelitian ini yakni faktor risiko stres, kecemasan, dan depresi dapat dimodifikasi.

Kendati begitu, Limperopoulos menekankan, sebanyak 75 persen wanita yang mengalami masalah kesehatan mental selama kehamilan tidak terdeteksi karena tidak dilakukan skrining secara sistematis untuk masalah ini.

"Kami benar-benar perlu memperhatikan masalah kesehatan mental selama kehamilan, karena itu tidak hanya mempengaruhi wanita hamil, tapi tampaknya memiliki efek yang bertahan lama pada bayi di bulan-bulan, mungkin tahun-tahun mendatang," papar Limperopoulos.

Sebagai masyarakat, dapat membantu memberikan ibu hamil sumber daya yang dibutuhkan dan menyediakan lingkungan yang aman dan mendukung sebelum dan selama kehamilan, yang kemungkinan memiliki dampak signifikan terhadap kesehatan anak-anaknya.

https://www.kompas.com/tren/read/2020/12/15/072700865/studi--stres-pada-ibu-hamil-bisa-pengaruhi-perkembangan-otak-janin

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke