Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Uji Materi UU Penyiaran, antara Perubahan Perilaku Audiens dan Monopoli Stasiun TV

KOMPAS.com - Dua stasiun televisi di Indonesia, yaitu PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) dan PT Visi Citra Mitra Mulia (iNews TV) mengajukan uji materi terhadap Pasal 1 ayat 2 UU Nomor 32 Tahun 2020 tentang Penyiaran.

Pengajuan uji materi perihal UU Penyiaran ini diajukan keduanya pada Juni lalu dengan nomor perkara 39/PUU-XVIII/2020.

Menurut Kementerian Kominfo, jika uji materi ini dikabulkan, maka layanan video over the top (YouTube Live, Facebook Live, Instagram Live) akan dikategorikan sebagai penyiaran dan harus tunduk pada aturan yang telah berlaku sebelumnya.

Konsekuensinya, individu, badan usaha, atau badan hukum harus memiliki izin menjadi lembaga penyiaran.

Jika pihak-pihak tersebut tidak memenuhi persyaratan perizinan penyiaran, maka akan dikategorikan sebagai pelaku penyiaran ilegal dan harus ditertibkan oleh aparat penegak hukum karena melakukan penyiaran tanpa izin.

Tak pelak, hal ini ramai diperbincangkan di media sosial dan menjadi sorotan publik. Masyarakat khawatir, jika uji materi ini diterima, maka kebebasan mereka memanfaatkan layanan live stream akan terancam.

Privilege stasiun televisi

Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Fajar Junaedi, mengatakan selama ini stasiun televisi yang bersiaran 'nasional' sudah menikmati privilege-nya dengan luar biasa.

Fajar mengajak masyarakat untuk melihat kembali momen perancangan UU No.32 Tentang Penyiaran pada 2002 lalu. Kala itu, stasiun televisi "nasional" menolak dengan keras keberadaan UU itu, terutama karena mereka harus siaran jejaring.

"Stasiun-stasiun televisi ini selama ini mengingkari gagasan diversity of ownership dalam penyiaran kita. Terjadi monopoli oleh lembaga penyiaran yang berpusat di Jakarta, dan bahkan kepemilkan silang," kata Fajar saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (29/8/2020).

Menurut dia, implikasi dari penolakan stasiun televisi atas gagasan diversity of ownership adalah siaran televisi akhirnya juga tidak ada diversity of content atau keberagaman konten. 

"Wajar jika kemudian audiens merasa bosan dengan siaran televisi kita, lalu beralih ke internet," ujar dia.

Perubahan perilaku audiens

Fajar menjelaskan, peralihan audiens televisi ke internet, terjadi karena adanya perubahan perilaku audiens dalam bermedia.

Audiens tidak lagi sekadar menjadi konsumen, namun juga produsen pesan yang dikomunikasikan secara masif melalui teknologi digital.

"Proses produksi konten pun tidak lagi perlu sumber daya manusia yang banyak dan peralatan yang mahal. Siapapun bisa menjadi content creator," kata Fajar.

Menurut dia stasiun televisi "nasional" harus adaptif dengan perubahan perilaku audiens dan perubahan teknologi. Jangan karena ditinggalkan audiens lantas tidak mau berubah.

"Kita lihat saja, konten siaran stasiun televisi yang tidak lagi menarik bagi audiens kekinian. Stasiun televisi 'nasional' itu sudah terlalu lama menikmati monopolinya yang ditandai tiadanya diversity of ownership," ujar dia.

Yang perlu diatur

Fajar menilai, seharusnya yang perlu diatur dalam kegiatan live stream adalah perlindungan kepada anak.

Saat ini, beberapa aplikasi sudah menyediakan fitur parental lock, untuk membatasi konten yang bisa diakses anak-anak.

Selain itu, hal lain yang perlu diatur dalam regulasi penyiaran di Indonesia adalah penghargaan hak cipta, alias perlindungan karya dari pembajakan.

https://www.kompas.com/tren/read/2020/08/29/194500265/uji-materi-uu-penyiaran-antara-perubahan-perilaku-audiens-dan-monopoli

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke