Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Ramai soal Pesut Mahakam di Twitter, Apa Bedanya dengan Lumba-lumba?

KOMPAS.com - Sebuah video mengenai pesut di Sungai Mahakam, Kalimantan Timur viral di Twitter, Selasa (21/7/2020).

Video tersebut memperlihatkan beberapa hewan mirip lumba-lumba sedang meloncat-loncat di sungai.

Pengunggah video itu, @BahriBpp, menuliskan narasi sebagai berikut:

"Kejadian yg skrg sangat langka d sungai Mahakam."

Hingga kini unggahan video itu telah disukai lebih dari 43.800 kali dan di-retweet lebih dari 15.000 kali oleh pengguna Twitter lainnya.

Lantas, benarkah pesut Mahakam mulai punah, dan apa bedanya dengan lumba-lumba?

Penjelasan Peneliti LIPI

Peneliti LIPI bidang Zoologi Yuli Fitriana menjelaskan pesut Mahakam merupakan keluarga lumba-lumba dengan family Delphinidae.

"Kalau kita nyebut pesut Mahakam berarti subpopulasi yang ada di Indonesia khususnya di Kalimantan," ujarnya pada Kompas.com, Selasa (21/7/2020).

Lanjutnya, pesut Mahakam dengan nama latin Orcaella brevirostris tak hanya ada di Indonesia.

Pesut Mahakam juga tersebar di Bangladesh, India, Laos, Kamboja, Vietnam, Myanmar, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Filipina.

Saat ditanya terkait perbedaan pesut Mahakam dengan lumba-lumba, imbuhnya tidak hanya moncong dan lehernya yang fleksibel. Jadi terlihat agak kusut di bagian belakang kepalanya.

Pesut Mahakam menurutnya juga memiliki bentuk kepala menonjol dengan dahi yang panjang.

"Kepala dan wajahnya lebih mirip paus beluga (Delphinapterus leucas) daripada lumba-lumba pada umumnya," kata dia.

Hampir punah

Mengenai punah tidaknya pesut Mahakam, Yuli menjawab bahwa pesut memang hampir punah.

"Pesut Mahakam belum punah tapi kalau statusnya di IUCN critically adalah endangered, satu step sebelum punah," ujarnya.

Dia juga menjelaskan populasi di Indonesia sudah sangat dekat menuju kepunahan, karena populasi individu dewasa terus turun.

Yuli mengatakan pesut Mahakam sering ditangkap nelayan, sering terjerat di gillnet. Sering terjadi kematian insidental karena satwa ini terperangkap di gillnets.

Menurutnya hal itu menjadi ancaman utama untuk pesut Mahakam.

Selain itu gangguan lain juga bisa dari tongkang batu bara yang ada di sungai-sungai.

"Lalu degradasi dari penurunan atau perubahan aliran air tawar ini berpengaruh pada populasi di muara. Polutan berupa minyak, pestisida, limbah industri, debu batubara juga mengganggu populasinya," katanya.

Lanjutnya, pendangkalan di sekitar badan sungai dan muara juga mengancam populasi pesut Mahakam.

Penangkapan untuk diperjualbelikan ke sejumlah tempat juga termasuk ancaman juga. Spesies ini masuk dalam Appendix I CITES, jadi perdagangan internasional dilarang.

Bagaimana agar tidak punah?

Menurut Yuli upaya konsenvasi perlu dilakukan seperti melindungi habitat dan area yang sudah teridentifikasi di sepanjang Sungai Mahakam.

Perlu juga melarang penggunaan gillnets di area-area tersebut. Lalu tongkang dan batubara sebaiknya ditertibkan atau membuat transportasi alternatif lain.

"Patroli reguler juga penting untuk pencegahan teknik ilegal penangkapan ikan, misalnya dengan racun, pukat, dan electrofishing," kata Yuli.

Selain itu menurut Yuli perlu juga dilakukan perlindungan area pemijahan ikan di sepanjang sungai dan muara terutama area dekat populasi pesut yang padat.

Melansir pemberitaan Harian Kompas, 14 Februari 2020, pesut Mahakam yang tersisa saat ini menurut catatan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Timur hanya 80 ekor.

Jumlah itu berkurang 5 ekor karena 5 ekor pesut mati sepanjang 2019. Limbah dan alat tangkap tak ramah lingkungan menjadi penyebab utama matinya pesut.

"Pesut ini sebagai indikator. Jika ada yang mati akibat kualitas air yag menurun, berarti itu juga berbahaya bagi ikan-ikan lagi. Untuk itu diperlukan zonasi untuk habibtat pesut dan ikan, ujar Scientific Program Manager Yayasan RASI, Danielle Kreb, di Samarinda, Kamis (13/2/2020).

https://www.kompas.com/tren/read/2020/07/21/145000065/ramai-soal-pesut-mahakam-di-twitter-apa-bedanya-dengan-lumba-lumba

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke