Diberitakan sebelumnya, pemerintah telah mengubah beberapa istilah yang biasa digunakan dalam menggambarkan kondisi virus corona di Indonesia.
Perubahan itu tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) Republik Indonesia Nomor HK.01.07/MENKES/413/2020 tentang Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Coronavirus Disease 2019 (Covid-19).
"Istilah-istilah itu untuk kepentingan penanganan, untuk petugas, entah gugus tugas atau nakes, itu sebetulnya," kata Windhu saat dihubungi Kompas.com, Kamis (16/7/2020).
Perubahan-perubahan itu di antaranya terkait orang dalam pemantauan (ODP) berubah menjadi kontak erat, pasien dalam pengawasan (PDP) menjadi kasus suspek, dan OTG menjadi kasus konfirmasi tanpa gejala (asimptomatik).
Justru sesuai dengan panduan WHO
Windhu menjelaskan, istilah-istilah terbaru saat ini justru lebih sesuai dan mengacu pada istilah internasional yang digunakan WHO.
"Selama ini kan sebetulnya pemerintah kita memberi istilah sendiri. Justru yang sekarang ini malah benar, yaitu secara internasional sama karena mengacu pada istilah-istilah yang digunakan WHO," jelas dia.
Kasus kematian akibat Covid-19, misalnya, selama ini hanya berasal dari pasien yang terkonfirmasi positif.
Padahal, sejak Maret 2020, WHO telah menyatakan bahwa laporan kematian Covid-19 bukan hanya dari kasus konfirmasi, tetapi juga kasus probabel.
"Oleh WHO itu dinyatakan kalau kita melaporkan kematian bukan hanya yang terkonfirmasi, tapi juga kasus probabel, yaitu PDP yang sudah berat," kata Windhu.
"Meskipun tesnya belum keluar atau belum sempat dites, kematian itu harus diperhitungkan dan dilaporkan," lanjut dia.
Yang penting disiplin
Namun, Windhu menyebutkan, masyarakat tidak perlu bingung oleh perubahan istilah-istilah tersebut.
Sebab, hal yang paling penting bagi masyarakat adalah menjaga agar tidak terjadi penularan Covid-19 dengan cara disiplin mematuhi protokol kesehatan.
"Istilah itu diubah apa pun, selama masih ada orang yang tidak disiplin, Covid-19 akan tetap ada. Jadi masyarakat tidak usah bingung dengan perubahan itu," kata Windhu.
Senada dengan Windhu, pakar epidemiologi Universitas Gadjah Mada Bayu Satria Wiratama menganggap perubahan istilah itu baik untuk mengikuti pedoman WHO, meski terlambat dilakukan.
"Cukup telat, tapi perubahan istilah ini sebenarnya bagus dengan tujuan mengikuti pedoman WHO," kata Bayu saat dihubungi secara terpisah, Kamis.
Akan tetapi, dia mengingatkan, perubahan istilah itu harus disampaikan secara tepat kepada masyarakat dan tenaga kesehatan.
Sebab, adanya perubahan ini berpotensi menimbulkan kebingungan.
Selain mengubah istilah, Bayu meminta agar perubahan itu dibarengi dengan peningkatan kinerja pemerintah pusat dalam menangani Covid-19.
"Perubahan ini juga sebaiknya diiringi dengan peningkatan kinerja pemerintah pusat yang sejauh ini masih sangat kurang," kata dia.
https://www.kompas.com/tren/read/2020/07/17/081000865/perubahan-istilah-terkait-covid-19--jangan-bingung-yang-penting-disiplin