Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mengenang 14 Tahun Gempa Yogyakarta dan Solidaritasnya untuk Bangkit

KOMPAS.com - Hari ini 14 tahun lalu, tepatnya pada 27 Mei 2006 terjadi gempa bumi sebesar 5,9 skala Richter di Yogyakarta dan sekitarnya.

Itu merupakan bencana alam terbesar kedua yang terjadi setelah tsunami Aceh 2004. Saat itu tsunami menewaskan 170.000 orang.

Saat terjadinya gempa, masyarakat DIY sedang menghadapi ketakutan akan ancaman terjadinya wedhus gembel dan lahar Merapi. Tapi justru yang terjadi adalah gempa dari laut.

Dikabarkan Harian Kompas, Minggu (28/5/2006), tercatat 3.098 korban tewas dan 2.971 orang di antaranya berasal dari Kabupaten Bantul pada Sabtu, 27 Mei 2006 hingga pukul 00.15 WIB.

Gempa juga meluluhlantakkan 3.824 bangunan, infrastruktur, dan memutuskan jaringan telekomunikasi di Yogyakarta dan Bantul.

Korban yang terdampak tak hanya di Bantul, tapi juga Kota Yogyakarta, Sleman, Kulon Progo, Gunung Kidul, Klaten, bahkan Boyolali.

Korban tewas pada umumnya karena tertimpa bangunan yang roboh. Sementara itu korban luka-luka banyak terjadi karena kepanikan yang luar biasa.

Mereka panik karena ada isu tsunami. Itu membuat lalu lintas jalan raya menjadi kacau dan banyak tabrakan yang mengakibatkan warga terluka.

Berdasarkan pemantauan Stasiun Geofisika Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Yogyakarta, gempa tektonik berkekuatan 5,9 skala Richter (SR) itu terjadi pada pukul 05.53 di lepas pantai Samudra Hindia.

Posisi episentrum pada koordinat 8,26 Lintang Selatan dan 110,33 Bujur Timur, atau pada jarak 38 kilometer selatan Yogyakarta pada kedalaman 33 kilometer.

Gempa disebabkan tumbukan antara Lempeng Indo-Australia dan Lempeng Eurasia, pada jarak sekitar 150 km-180 km ke selatan dari garis pantai Pulau Jawa.

Gempa utama terus diikuti gempa susulan berkekuatan kecil. Menurut Tony Agus Wijaya, pengamat geofisika pada Stasiun Geofisika Yogyakarta, kekuatan gempa tidak menyebabkan gelombang tsunami.

Kepanikan akibat gempa tektonik yang melanda Yogyakarta tak hanya mengakibatkan korban jiwa. Tapi seluruh sentra ekonomi lumpuh total.

Kerusakan infrastruktur listrik, telekomunikasi, pasar, bandara, stasiun kereta api, dan lumpuhnya pasar rakyat ini ditaksir menimbulkan kerugian puluhan miliar rupiah.

Kelumpuhan itu antara lain terjadi karena listrik padam, penutupan Bandara Adisutjipto, macetnya sekitar 40 base transceiver station (BTS) Telkomsel, kerusakan stasiun kereta api, serta ambruknya sejumlah pasar rakyat.

Pasar-pasar yang menjadi urat nadi perekonomian rakyat di DIY sebagian besar tidak beroperasi. Bahkan, Pasar Piyungan nyaris rata dengan tanah. Sebagian bangunan Pasar Bantul juga roboh.

Selain itu pusat pertokoan kawasan Malioboro tutup, warung-warung makan tutup, minimarket juga demikian.

Ekonom dari Universitas Islam Indonesia Yogyakarta Prof Dr Edy Suandi Hamid memperkirakan bahwa kerugian akibat gempa bisa mencapai puluhan miliar rupiah.

Sementara itu PT PLN Penyaluran dan Pusat Pengatur Beban Jawa Bali (P3B) Region Jateng-DIY kehilangan daya 23 megawatt akibat kerusakan gardu induk listrik di Pedan, Klaten.

Hal yang membedakan gempa bumi di Yogyakarta dengan di Jepang (2011) adalah gotong royong dari rakyat Indonesia.

Dikutip Harian Kompas, Senin (29/5/2006), dalam opini yang ditulis Dosen Program Magister Ilmu Religi dan Budaya (IRB), Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta Baskara T Wardaya, dia menceritakan bantuan pada korban datang dari segala penjuru.

Rasa solidaritas pertama ditunjukkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dia datang di hari bencana untuk menjenguk para korban, bahkan rela tidur di tenda seperti mereka.

Dengan segera truk-truk berisi makanan dan obat-obatan dikirim dari sejumlah kota.

Sementara itu, para mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di luar negeri dengan cekatan menggalang pengumpulan dana solidaritas untuk para korban.

Komunikasi ke Yogyakarta cukup sulit, meski begitu berbagai pihak di luar Yogyakarta terus berusaha memantau keadaan.

"Mungkin kita tak akan berdaya mencegah terjadinya gempa bumi, tetapi kalau mau kita bisa membina solidaritas dan bantuan bagi para korbannya," tulisnya.

Setelah bencana terjadi, bantuan terus mengalir dari berbagai daerah di Indonesia. Bahkan bantuan dari luar negeri juga. Doa juga dipanjatkan dari berbagai tempat.

https://www.kompas.com/tren/read/2020/05/27/090610365/mengenang-14-tahun-gempa-yogyakarta-dan-solidaritasnya-untuk-bangkit

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke