Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Saat Didi Kempot "Mendamaikan" Campursari dan Pop

KOMPAS.com - Seorang pemuda berambut sepunggung mengantarkan gadisnya di Stasiun Balapan, Solo, Jawa Tengah.

Ketika kereta bergerak, si pemuda berlari-lari mengejar, seperti adegan film drama murahan. Satu bocah tukang koran berlari di belakang si pemuda untuk bisa ikut tersorot kamera sambil tertawa.

Itulah adegan video klip "Solo Balapan" oleh penyanyi Didi Kempot, yang albumnya meledak di Jawa Tengah akhir tahun '90-an.

Pop Jawa hingga campursari

Musik seperti dicipta dan dibawakan oleh Didi Kempot itu ada yang menyebut "pop Jawa", ada pula yang menyebutnya "campursari".

"Saya kalau dengerin lagu pop Barat itu rasanya kok enak. Enggak ada salahnya saya bikin lagu Jawa, tapi saya masukin pop," kata Didi dalam sebuah wawancara dikutip dari harian Kompas, 18 Agustus 2002.

Menurut Didi, hal inilah yang membuat campursari istimewa.

Campursari versi Didi Kempot pernah dianggap sebagai barang aneh oleh juragan kaset yang dimanja dengan larisnya musik pop atau dangdut.

Modal Rp 6 juta

Pada tahun 1997, dengan modal sekitar Rp 6 juta, Didi merintis dengan merekam album yang diproduseri sendiri.

"Saya edarkan kaset naik sepeda motor berboncengan dengan kawan. Saya duduk mekangkang memangku kaset ke toko-toko di Cepu, Ngawi, Bojonegoro, Magetan. Tapi, sampai tiga bulan pertama, kasetnya retur terus, ora payu, tidak laku," jelas dia.

Didi akhirnya bertemu produser yang bersedia membuat dan mengedarkan kaset berikut VCD. Didi dibayar flat sekitar Rp 30 juta.

VCD yang antara lain berisi lagu "Stasiun Balapan" itulah yang memopulerkan nama Didi Kempot ke blantika musik Indonesia.

Mewakili keresahan masyarakat

Lagu-lagu Didi juga terasa akrab pada pengguna bahasa Jawa karena menggunakan cara ngoko yang lebih egaliter.

Selain itu, lirik lagu Didi seperti mewakili keresahan pendengarnya.

Mereka adalah kaum pinggiran mulai dari buruh, pekerja migran Indonesia di Hongkong, sampai preman.

Pada sejumlah lagu seperti "Dompet Kulit", "Sewu Kutho", "Sekonyong-konyong Koder", "Stasiun Balapan", dan "Tirtonadi", Didi berkisah tentang lelaki yang ditinggal pacar atau istri. Didi tahu persis problem mereka.

"Saya dapat cerita-cerita seperti itu di jalanan. Orang sudah susah ditinggal bojo. Dulu di lagu pop perempuan yang disakiti lelaki. Sekarang lelaki yang disakiti perempuan," kata dia.

Kembali populer pada 2019

Belakangan, lagu-lagunya itu kembali meledak, khususnya pada tahun 2019. Lirik lagunya dianggap mewakili curahan hati oleh para "Sobat Ambyar", fans berat maestro asal Solo, Jawa Tengah, itu. 

Bahkan, lagu-lagunya yang banyak berbahasa Jawa tak hanya populer di masyarakat Jawa pinggiran, tetapi juga telah diterima luas di Jakarta dan berbagai daerah lainnya.

Kini, The Godfother of Broken Heart itu telah tiada. Namanya akan terus abadi bersama karya-karyanya.

Ia meninggal dunia pada Selasa (5/5/2020) pukul 07.30 WIB di Rumah Sakit Kasih Ibu, Surakarta, Jawa Tengah. Informasi ini disampaikan kerabatnya, Lilik, dikutip dari Kompas TV.

Selamat jalan, Sang Legenda....

https://www.kompas.com/tren/read/2020/05/05/142800465/saat-didi-kempot-mendamaikan-campursari-dan-pop

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke